Jumat, 18 September 2015

SEKOLAH PEMBERDAYAAN DAN REVITALISASI PEMBANGUNAN



SEKOLAH PEMBERDAYAAN DAN REVITALISASI  PEMBANGUNAN
Oleh: Hironimus Lagadoni Tukan, S.Sos
Mahasiswa Program Pascasarjana STPMD “APMD” Yogyakarta
Program Studi Ilmu Pemerintahan, Konsentrasi Pemberdayaan Masyarakat


Pemberdayaan merupakan konsep alternatif pembangunan yang saat ini digandrungi oleh semua lapisan masyarakat. Secara konseptual, pemberdayaan kini menjadi sebuah konsep ideal, logis rasioanal bahkan sistematis, tetapi menjadi cukup pelik dan rumit untuk diimplementasikan. Kehadirannya seakan menjadi sebuah model yang menjanjikan akan kemandirian dan kesejahtraan. Hal yang pasti ialah pemberdayaan merupakan sebuah strategi konseptual yang diimplementasikan sebagai  strategi penanggulangan kemiskinan masyarakat. Realitasnya, kemiskinan kini menjadi persoalan yang rumit dan bahkan sulit untuk dihapuskan. Chambers memandang Pemberdayaan sebagai sebuah pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Barangkali pandangan ini seakan masih dilupakan oleh para penyelenggara program, fasilitator dan masyarakat dalam program pembangunan  berbasis pemberdayaan.
Tulisan ini mau mengajak pembaca untuk merefleksikan dinamika pembangunan berbasis pemberdayaan ditengah hadirnya UU No 6 tahun 2014 tentang desa yang pelaksanaannya di daerah-daerah belum juga dioperasionalkan. Saat ini wacana pemberdayaan yang ditegaskan dalam UU desa tersebut tengah mengalami sebuah proses transformasi, ibarat persiapan dalam implementasinya.Carut marutnya pembangunan bangsa dan daerah berbasis pemberdayaan selama ini ibarat pembelajaran yang patut untuk direfleksikan.
Menelaah sejumlah   program pembangunan baik ditingkat pusat maupun di daerah selama ini nampaknya masih menunjukan orientasi pembangunan fisik. PNPM sebagai program pembangunan Nasional yang cukup glomower masih juga menyisihkan 75 prosen pembangunan fisik. Tercatat pula bahwa pengalokasian dana bantuan PNPM berupa  dana SPP untuk dikembangkan masyarakat dalam pengembangan usaha produktif masih mengalami kegagalan. Kegagalan tersebut diakibatkan karena salah sasaran, salah urus, kredit macet serta cenderung digunakan untuk kebutuhan konsumtif. Hal ini kemudian menimbulkan ironi terhadap persoalan kemiskinan dan penanggulangan kemiskinan. Tidak Cuma itu, dalam berbagai hasil penelitian di sejumlah literatur menyebutkann bahwa program pembangunan nasional maupun di daerah kabupaten/kota masih menuai kegagalan bila dicermati dari sisi pemberdayaan.
Kemiskinan, pengangguran, sikap ketergantungan serta merosotnya nilai-nilai sosial seperti partisipasi, kebersamaan, kesetaraan, gotong royong, solidaritas, toleransi serta transparansi dan akuntabilitas adalah bagian yang cukup ironis ditengah gerakan pemberdayaan masyarakat. Pertanyaan yang kemudian muncul ialah kemandirian dan kesejahtraan yang seperti apakah yang hendak dicapai ?.
Banyak sekali hasil-hasil penelitian yang menunjukkan bahwa dalam pelaksanaannya program-program pemberdayaan masyarakat  sangat tidak efektif, karena sifatnya yang langsung, hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) masyarakat, selain karena masalah ketidaktepatan sasaran, hal ini dinilai tidak memandirikan masyarakat. Ketergantungan masyarakat terhadap ‘pemberian’ pemerintah semakin tinggi, dan pada akhirnya justru akan semakin menghambat laju pertumbuhan ekonomi bangsa.
Studi yang dilakukan Menayang dan Widodo dkk misalnya menyebutkan beberapa masalah pelaksanaan program pemberdayaan diantaranya terletak pada kelemahannya  dari segi manajemen pelaksanaan, kesiapan masyarakat, dan lebih-lebih pada proses sosialisasinya, masyarakat tidak memiliki kecukupan informasi tentang program pemberdayaan masyarakat dan masih memahami program sebagai bantuan murni (grand), proses sosialisasi yang sering dijalankan secara sepihak oleh para perncana dan bersifat searah (one way comunication) dan instruktif, kurang memperhatikan kondisi masyarakat seperti pada konteks sistem komunikasinya, struktur masyarakatnya dan fungsi institusi/lembaga lokal masyarakat setempat, sekalipun para petugas lapangan (pendampingan) telah dilatih keterampilan berkomunikasi dan atau kemampuan bersosialiasi, tetapi tanpa mengenal, memahami dan menggunakan peta komunikasi sosial, serta pengetahuan tentang struktur masyarakat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat setempat, perekrutan dan lemahnya pembekalan fasilitator.
Hal ini menunjukan bahwa pelaksanaan program pemerintah berbasis pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk mengatasi kemiskinan serta meningkatkan kesejahteraan hidup masih belum dilksanakan secara maksimal. Terkait dengan itu, sebuah kesimpulan menarik dalam studi yang dilakukan oleh Yunus R. (2009) menemukan kesimpulan mengapa berbagai program pemerintah berbasis pemberdayaan tidak mengubah kondisi kemiskinan yaitu karena banyaknya penduduk  yang membutuhkan bantuan tetapi tidak tersentuh, sebab penentuan kelompok sasaran program pengentasan kemiskinan sangat dipengaruh   oleh kepentingan aparat pelaksana, sehingga yang paling membutuhkan bantuan sering terpinggirkan. Disisi lain perlu dilakukan rumusan tentang kriteria kemiskinan yang beraras lokal.
Disebutkan bahwa dari data yang tersedia pada umumnya hanya menjelaskan indikasi program-program yang telah dan akan dilaksanakan tidak dapat mengungkapkan efektifitas penggunaan dalam mengatasi kemiskinan di daerah atau dalam suatu kelompok masyarakat tertentu serta berapa banyak penduduk miskin yang telah diangkat derajat hidupnya melalui program-program pemberdayaan..
Hal ini tentunya menjadi ironis tentunya sebab dicermati bahwa hampir semua SKPD di Indonesia yang  memiliki program pemberdayaan masyarakat serta ada badan/kantor/pemberdayaan masyarakat di seluruh kabupaten/kota. Selain itu dalam struktur pemerintah desa/kelurahan, juga dibentuk lembaga pemberdayaan masyarakat desa/kelurahan. Di sisi lain dalam kalangan dunia usaha, baik BUMN/Swasta juga ada kewajiban melakukan pemberdayaan masyarakat melalui program tanggungjawab sosial dan lingkungan dalam bentuk program kemitraan dan Bina Lingkungan (PK-BL) di BUMN, maupun CSR (Corporate Social responsibility) dikalangan swasta. Tetapi bahwa kenyataannya  menunjukan praktik pelaksanaan pemberdayaan masyarakat seringkali jauh dari konsepnya.  Kita tentunya berharap bahwa UU no 6 tahun 2014 tentang desa menjadi sebuah kerangka logis dalam membangun gerakan pemberdayaan masyarakat lebih rasional, efektif dan efisien.
Margot Breton,(1994) menyebut bahwa  gagasan pemberdyaan masyarakat berangkat dari realitas objektif yang merujuk pada kondisi struktural yang timpang dari alokasi kekuasaan dan pembagian akses sumberdaya masyarakat.Hal ini tentunya juga diakui sebab persoalan struktural dan pembagian akses berangkat dari sebuah otoritas  kewenangan institusi publik dimana pemerintah merupakan institusi penyelenggara negara. Hasil penelitian penulis terhadap pelaksanaan pemberdayaan masyarakat miskin di sejumlah desa di NTT misalnya baik dari progran PPK, NTADP, P2DTK, ADD, BLT, PNPM dan Anggur Merah ditemukan bahwa kegagalan program tersebut juga berasal dari masyarakat. Dimana mentalitas dan struktur budaya dan tradisi yang kuat telah turut menorehkan kegagalan dalam konteks pemberdayaan masyarakat.
Bertolak dari pandangan tersebut, sebenarnya sikap saling menyalahi adalah bukan solusinya. Persoalan yang lebih penting adalah bagaimana merajut kembali benang kusut pembangunan melalui pendekatan yang sinergis dan kolaboratif anatara elemen masyarakat. Persoalan inilah yang kemudian memunculkan perlunya revitalisasi konsep pembangunan dalam pemberdayaan masyarakat. Hal yang paling penting dalam merevitaliassi konsep pembangunan di ranah praktis implementasinya ialah menterjemahkan konsep pemberdayaan ke ranah praktis. Sekolah pemberdayaan adalah pilihannya. Konsep pemberdayaan menjadi sebuah konsep perubahan namun perubahan yang terjadi nampaknya hanya menjadi sebuah selebrasi karena desakan agenda global yang seakan memaksa sehingga semua merasa harus segera melakukan. Kita menerima konsep pembangunan berbasis pemberdayaan yang ada lalu mengimplementasikan secara praksis tanpa terlebih dahulu memahami dan mendalaminya, kemudian kita menjadi inkositensi gerakan yang mengatasnamakan pemberdayaan.
Ada banyak kesulitan dan tantangan yang dihadapi karena pemahaman akan konsep dan implementasinya bersifat parsial. Kondisi ini tentunya membutuhkan sebuah proses pembelajaran yang terlembaga dan terstruktur yakni Sekolah Pemberdayaan. Urgensi lain dari sekolah pemberdayaan adalah penciptaan ruang bagi proses revitalisasi pembangunan ke arah proses dan tidak semata pada tujuan akhir. Meletakan pemberdayaan sebagai sebuah proses merupakan sebuah upaya pembelajaran menciptakan kesadaran masyarakat untuk dapat berpikir sendiri, merasakan sendiri dan bertindak sendiri. Dengan demikian terobosan sekolah pemberdayaan dapat menjadi prototype sekolah  masyarakat mandiri untuk mencapai kemandirian dan kesejahtraan serta keseimbangan hidup.
Adapun hal penting dari sekolah pemberdayaan adalah, Pertama, dapat menjadi alternatif menumbuhkan kesadaran masyarakat dari aspek kognitif, afeksi dan pola laku masyarakat dan institusi dalam melakukan pembangunan. Dengan demikian akan melahirkan masyarakat yang tahu, merasa memiliki dan bertindak sebagaimana tujuan pemberdayaan. Kedua, membangun dan mengembangkan kaderisasi pembangunan dengan model yang rasional, sistemik, terukur dan bermartabat serta berdaya saing. Ketiga, sebagai wahana pembelajaran dan wadah sharing lintas sektor terhadap permasalahan pembangunan untuk dikaji secara objektif dalam kondisi kekiniannya. Keempat, Sekolah pemberdayaan dapat menjadi wahana membangun diskurus perihal konsep pembangunan (paradigma lama) dan konsep pemberdayaan (paradigma baru) yang berorientasi pada masyarakat dan institusi serta dapat membangun diskursus anatara kebijakan dan kebutuhan masyarakat.
Perubahan Kognitif, Afeksi dan Pola laku
Hal penting dari sekolah pemberdayaan dikaitkan dengan adanya kesadaran baru yakni perubahan mind set atau pola pikir masyarakat dan penyelenggara institusi dari aspek kognitif, afeksi dan pola laku, dari pola pikir lama ke pola pikir yang baru. Esensinya adalah menjadikan masyarakat tahu, memahahami dan mengenal konsep, serta kondisi kekiniannya baik itu politik, budaya maupun lingkungan lainnya termasuk mengenal dan memahami potensi dirinya. Dari aspek afeksi, esensinya ialah mendorong kesadaran baru masyarakat untuk merasa memiliki, menghargai, menghormati, merasa penting semisal penting berpartisipasi terhadap apa yang akan dilakukan dan yang telah dilakukan dalam program pembangunan berbasis pemberdayaan. Dari aspek pola laku ialah menumbuhkan kesadaran bertindak sebagaimana apa yang diketahuinya atau dipahaminya, dirasakannya sehingga gerakan pemberdayaan melalui program pembangunan tersebut pada akhirnya dapat menciptakan kemandirian dan kesejahtraan. Disinilah akan muncul inisiatif dan kreatifitas masyarakat dalam membangun dan mengembangkan potensi dirinya dan lingkungannya.
Banyak persoalan yang muncul dari program pembangunan berbasis pemberdayaan diantaranya dibangun dalam mekanisme birokratis yang sayarat dengan penilaian administratif, bersifat instruktif serta pelaksanaannya lebih cenderung pada petunjuk teknis dan mekanisme teknis yang difasilitasi oleh fasilitator lapangan. Kreatifitas seorang fasilitator lapangan sangat dibutuhkan dan inilah yang masih menjadi polemik kebanyakan orang. Berbagai persoalan ini semestinya harus segera disikapi sehingga pencapaian visi kolektif pembangunan bangsa yakni kemandirian dan kesejahtraan dapat tercapai.Pada akhirnya sekolah pemberdayaan masyarakat menjadi alternatif membangun kesadaran masyarakat dan institusi dalam menciptakan kemandirian dan kesejahtraan serta keseimbangan hidup. Disinilah letak pentingnya sekolah pemberdayaan dalam merevitalisasi pembangunan beraras kearifan lokal.
Menuju Implementasi UU Desa
UU No 6 tahun 2014 tentang desa memiliki spiritualitas pemberdayaan masyarakat. Sejumlah paradigma yang terkandung didalamnya antara lain rekognitif, subsidiaritas. Kehadirnanya tidak sekedar sebagai sebuah jawaban legal atas kebutuhan masyarakat khususnya masyarakat desa, melainkan sebuah bentuk merevitalisasi konsep pembangunan dengan meletakan otonomi desa dan mengembalikan identitas desa sebagai sebuah komunitas masyarakat yang bercita-cita mandiri dan sejahtera.
Kehadiran UU desa tersebut merupakan sebuah kesadaran baru negara yang berpihak kepada komunitas desa yang tidak sekedar dilihat dari adanya alokasi anggaran sebesar Rp.1 miliar setiap desa pertahun, atau juga bukan karena adanya sistem penggajian bagi aparat desa, penambahan masa kerja aparatur desa, melainkan lebih dari itu UU desa menjadi seperangkat instrumen legal negara yang mendorong gerakan pemberdayaan masyarakat desa untuk mandiri dan sejahtera yang lebih partisipatif, kreatif, inovatif dan akomodatif serta berkelanjutan.. Apapun amanatnya, pemberdayaan masyarakat menjadi sentral point yang cukup menantang bagi implementasi pemberdayaan di aras lokal desa.
Ditengah kehadirnanya tersebut, kita ditantang antara peluang dan ancaman ketika masih berada dalam kondisi dilematis antara konsep pembangunan dan konsep pemberdayaan masyarakat. Saat ini sebelum kita jauh melangkah dan tidak pada akhirnya mengembalikan sebuah posisi praktek pembangunan berbasis pemberdayaan sebagaimana fenomena yang digambarkan pada uraian terdahulu, maka sekolah pemberdayaan sekali lagi menjadi alternatif yang mesti dipikirkan, paling tidak dapat mengurai benang kusut pembangunan masyarakat selama ini. Merevitalisasi berarti proses untuk mengembalikan atau menghidupkan kembali kondisi masyarakat yang pernah ada atau melakukan perubahan dari dinamika kehudupan masyarakat sebagaimana prinsip pemberdayaan masyarakat dalam rangka mendorong kemandirian masyarakat menuju kesejateraan hidup.
Menata kembali apa yang pernah ada dan tidak dimaksudkan untuk menghilangkan semuanya itu. Sebab Masyarakat desa di masa lalu adalah masyarakat yang memiliki komunalitas yang tinggi. Mereka saling bekerja sama tanpa harus diperintah, mereka hidup dari inisiatif dan kreativitas diri dan lingkungannya, mereka saling berbagi dan bersolider. Paradigma lain dari UU desa selain rekognisi dan subsidiaritas adalah, kebersamaan, Gotong royong, keberagaman, kesetaraan, solidaritas, Pemberdayaan dan keberlanjutan serta kemandirian. Sekolah pemberdayaan menjadi sangat relevan dalam membangun semangat UU desa tersebut.
Tulisan ini mau mengajak pembaca untuk merefleksikan dinamika pembangunan berbasis pemberdayaan yang dilakukan selama ini dan mencoba untuk membangun sebuah energi baru dalam merevitalisasi pembangunan melalui sekolah pemberdayaan. Sekolah pemberdayaan adalah sebuah upaya pembelajaran kapan dan dimanapun, ia tidak semestinya dibatasi oleh dinding-dinding serta struktur dan mekanisme yang birokratis tetapi pembelajaran bisa tercipta pada ruang-ruang kebersamaan, ia bisa tercipta melalui forum warga, forum antar staekholders ataupun lintas sektor. Akhirnya sekolah pemberdayaan menjadi penting ditengah konstestasi politik pembangunan bangsa serta terpaan globalisasi mengatasnamakan kemajuan dan modernitas tetapi mengendus semangat lokalitas dan kearifannya. UU Desa adalah bingkai dari pemberdayaan masyarakat, ia menegaskan akan pentingnya kemandirian dan kesejatraan masyarakat maka sekolah pemberdayaan menjadi sebuah alternatif dalam proses merevitalisasi pembangunan baik pada nasional dipusat dan daerah serta desa.
Relevansi sekolah pemberdayaan dalam konteks implementasi UU Desa no 6 tahun 2015 adalah terakumulasinya konsep pembangunan berbasis pemberdayaan dalam implementasinya serta upaya membangun kesadaran masyarakat secara kognitif, afektif dan pola laku untuk sebuah kontiunitas pembangunan dalam rangka mewujudkan kemandirian dan kesejahtraan. Disisi lain membangun sebuah sinergisitas yang kolaboratif dalam mengakomodir konsep pembangunan lama dengan konsep pembangunan yang baru yakni pemberdayaan pada ranah implementatif untuk mewujudkan inisiatif kreartif masyarakat. Membuka ruang pengkajian yang lebih mendalam serta akses dalam mengeksplorasi potensi lokal  yang lebih mengakar untuk merumuskan kembali kebijakan pembangunan di aras lokal demi kepentingan publik. Perubahan mind set, afeksi dan pola laku serta dukungan modal, atau material lain dalam mewujudkan pembangunan akan melahirkan sebuah proses merevitalisasi pembangunan di aras lokal.


Kamis, 14 Mei 2015

MENUJU PEMBANGUNAN DESA MANDIRI DALAM BINGKAI UU NO 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA ( SEBUAH KAJIAN PROSPEK PEMBANGUNAN DALAM IMPLEMENTASI UU NO 6 TAHUN 2014)



MENUJU PEMBANGUNAN DESA MANDIRI DALAM BINGKAI UU NO 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA
( SEBUAH KAJIAN PROSPEK PEMBANGUNAN DALAM IMPLEMENTASI UU NO 6 TAHUN 2014)
Oleh :
Hironimus Lagadoni Tukan, S.Sos


Sebuah Pengantar:
UU N0 6 tahun 2014 tentang desa merupakan sebuah  instrumen kebijakan formal  pembangunan bangsa yang meletakan desa sebagai sebuah komunitas masyarakat indonesia yang mesti diberdayakan guna mencapai kemandirian dan kesejateraan masyarakat.dengan demikian UU tersebut merupakan sebuah ruang kebijakan yang memberikan otoritas kepada desa untuk mengeksplorasi potensi lokalnya untuk pembangunan masyarakat baik secara pribadi maupun kolektif.
Pembangunan bangsa selama ini dengan sistem sentralistik dan top down oleh banyak kalangan dipandang sebagai sistem yang telah menciptsksn kegagalan dan ketergantungan bagi masyarakat. Implementasi selama ini sekan mengeksploitasi sumber daya masyarakat yang telah mendiskreditkan masyarakat khususnya masyarakat desa. Berbagai persoalan muncul seperti ketidak adilan, ketidakmerataan atau kesenjangan pembangunan yang kurang memberikan ruang eksplorasi sumber daya lokal sehingga kehadiran UU desa no 6 tahun 2014 merupakan sebuah regulasi bangsa yang mencoba untuk mendesain pembangunan desa berbasis kearifan lokalnya.
Untuk itu Pembangunan desa sebagaimana UU no 6 tahun 2014 tentang desa tersebut menurut Tri Nugroho dalam pemaparan materi perkuliahan menjelaskan ada sejumlah paradigma pembangunan yang terdapat didalam UU tersebut antara lain: Rekognisi atau pengakuan terhadap hak asal usul desa, Subsidiartitas, Keberagaman bukan penyeragaman, Kebersamaan, Kegotongroyongan, Kekeluargaan, Musawarah, demokrasi, kemandirian, Partisipasi, Kesetaraan,Pemberdayaan, dan Keberlanjutan. Sementara Sutoro Eko dalam Regulasi baru,desa baru (   2015), menyebutkan bahwa uu No 6 tahun 2014 memiliki dua paradigma yaitu paradigma Rekognisi dan paradigma Subsiadiritas.
Sejumlah paradigma ini menjadi intisari spirit pembangunan desa dalam UU tersebut. Diharapkan bahwa UU Desa menjadi seperangkat regulasi yang legal formal yang mengakui dan memberi kewenangan kepada desa untuk mengatur dan menurus rumah tangganya berdasarkan hak asal usul desanya serta mengakomodir potensi loklnya yang sangat multikuluralis. Dengan demikian pembangunan desa diharapkan pula dapat memberika aura baru pembangunan desa yang lebih partisipatif dan akomodatif dalam pencapaian kemandirian dan kesejatraan masyarakat ditengah pengalaman ketidak adilan, ketidakmerataan serta kesenjangan dalam sejarah pembangunan bangsa khususnya dalam hubungan antara desa dengan pemerintahan supra desa, antara desa dengn masyarakat desa.
Untuk itu UU desa No 6 Tahun 2014 adalah sebuah bentuk pengakuan yang melegitimasi posisi dan kedudukan desa dan komunitasnya berdasarkan hak asul usulnya sekaligus mendorong perubahan desa sebagai sebuah identitas ke arah kemajuan. Walau demikian kehadiran UU desa disatu sisi menjadi suatu harapan tetapi disisi lain menjadi sebuah tantangan yang mesti dibangun dalam sebuah sinergisitas yang kolaboratif antar elemen masyarakat guna mencapai visi dan misi kemandirian dan kesejateraan masyarakat.
Berangkat dari gambaran singkat tersbut diatas, UU desa no 6 tahun 2014 memiliki sejumlah prospek yang cukup inspiratif sekaligus reflektif dalam menjawabi mimpi dari visi dan misinya baik diranah konseptual maupun praksis implementatifnya. Dalam menjawabi pertanyaan besar Bagaimana prospek kemajuan pembangunan desa ditengah pelaksanaan UU No 6 tahun 2014 tentang desa yang kini berpihak pada desa. Pertanyaan besar ini akan dijawab dalam sebuah elaobarsi pemahaman penulis tentang berbagai amanat UU No 6 tahun 2014 tentang desa.
Prospek dan Dinamikanya :
Berbicara tentang undang undang tersebut, jelas terlihat bahwa UU tersebut memberikan peluang bagi otonomi desa. Beberapa keistimewaan dari UU ini antara lain: pengalokasian dana miliaran ruupiah ke desa dari APBN dan APBD, Penghasilan kepala desa dan aparat desa,Kewenagan kepala desa, masa jabatan Kepala desa yang bertambah hingga tiga periode, Penguatan fungsi BPD.
Dengan mengacu pada paradigma pembangunan yang terkatub dalam UU Desa tersebut diatas, yakni Rekognisi dan asas subsiadiritas maka kehadiran UU desa no 6 tahun 2014 memberikan pengakuan kepada desa berdasarkan hak asal usul desa. Pengakuan akan otonomi desa sebenarnya telah ada sejak diterapkannya UU 5/1979    dan    UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi desa saat itu seakan tumbuh kemali namum tidak diimplementasikan secara lebih spesifik.
Saat itu  otonomi desa justru mengalami penyusutan akibat adanya ekspansi otonomi daerah. Semakin luas hak mengatur dan mengurus yang dikembangkan pemerintah daerah atas nama hak dan kewajiban otonomi, bersamaan dengan itu menyusut pula makna otonomi desa. Desa menjadi powerless, kehilangan kewenangan sekalipun secara ekpslisit dikatakan memiliki otonomi asli.   Kini desa melalui Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 muncul kembali dan semakin eksplisit dengan mendasar pada dua pendekatan yaitu Rekognisi dan subsiadiritas. Kehadiran UU desa ini  setidaknya ingin menjawab dua problem utama, yaitu mengembalikan otonomi asli desa , serta pada saat yang sama mengembangkan otonomi desa untuk membatasi intervensi otonomi daerah pasca reformasi.
Jika mempelajari substansi pengaturan soal desa dalam batang tubuh, tampak bahwa rezim desa kali ini dengan jelas menjawab persoalan pertama, yaitu menegaskan kembali keragaman desa sebagaimana lebih awal telah dikoreksi oleh UU 22/1999 dan UU 32/2004. Desa dan atau nama lain berhak mengatur dan mengurus urusannya masing-masing berdasarkan hak asal usul yang diakui dan dihormati oleh negara berdasarkan amanah konstitusi pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Bahkan lebih dari itu rezim ini memberi tempat bagi tumbuhnya desa adat diluar desa administratif.
Terhadap persoalan kedua tampak bahwa desa diharapkan mampu mengembangkan otonomi aslinya untuk membatasi kuasa otonomi daerah yang mengancam hingga ke pori-pori desa  dalam praktek sebelumnya. Untuk mewujudkan harapan tersebut rezim kali ini memberi senjata yang lebih efektif digunakan desa dalam meningkatkan bargaining position ketika berhadapan dengan supradesaPersoalannya adalah apakah pengaturan soal desa kedepan akan memberi peluang ataukah menjadi ancaman nyata bagi pertumbuhan dan perkembangan otonomi desa?
Beberpa prospek pembangunan melalui UU No 6 tahun 2014 bagi desa dalam implementasinya ialah, Melalui kewenangan yang diberikan kepada desa, maka kreativitas dan inovasi akan menjadi lebih menggelora karena didasari adanya demokratisasi desa dengan sedikit meninggalkan intervensi supra desa.Artinya bahwa selama ini segala bentuk aspirasi kreativ dan inovasi yang muncul didesa cenderung bergantung pada petunjuk atau regulasi yang datang dari supra desa dengan sifatnya yang sangat universal dan kurang membumi pada kondisi desa.
Melalui kewenangan tersebut, Pemerintah desa dan masyarakat desa akan lebih kreatif dalam mendesain pembangunan desa berdasarkan kearifan-kearifan desa. Berbagai kondisi dan potensi yang ada didesa dapat dikembangkan sesuai kebutuhan riil masyarakat dengan mengacu pada keadaan geografis, lingkungan, kelembagaan, nilai-nilai yang dianuti serta keyakinan yang dianuti oleh masyarakat desa.
Kondisi ini diyakini akan lebih aspiratif dan akomodatif karena dapat memungkinkan proses pembangunan yang partisipatif dan berkelanjutan.
Dalam melaksanakan kewenangan desa tersebut khususnya dalam peningkatan pelayanan publik dibidang pemerintahan, pembangunan dan kemsayarakatan, didukung dengan alokasi anggaran yang cukup signifikan.    
 Dengan kewenangan yang demikian serta dukungan dana desa maka desa dalam upaya pelayanan publik dapat menjadi semakin optimal. Dengan demikian prospek lanjutan dari undang undang desa ini akan lebih menghidupkan kondisi atau potensi desa yang selama ini tertidur. Ada banyak potensi desa yang selama ini tertidur yang disebabkan karena kurangya dukungan dana serta mekanisme aturan yang sangat uniformalis sehingga kurang adaptif dan akomodatif terhadap potensi desa.
Artinya bahwa dalam mekanisme regulasi yang selama ini terjadi lebih cenderung bersifat umum dan sangat parsial bila dikaji dari persoalan desa per desa.atau sebut saja ada penyeragaman aturan atau regulasi yang bersekala nasional dan regional.  Semakin besar dan umum sifat dari suatu aturan atau regulasi semakin pula menciptakan kesenjangan penanganan potensi, dan semakin kecil ruang lingkup atau basis sebuah komunitas maka regulasi yang diperuntukan bagi komunitas itu semakin lebih kompleks, lebih mendalam dan menjangkau.
Dengan adanya kewenangan dan dukungan dana tersebut desa menjadi leluasa dalam menentukan pilihan serta kreatif mendesain pola pembangunan berdasarkan identifikasi persoalan dan kebutuhan dari persoalan yang paling kecil yang selama ini tidak diakomodir karena lebih memprioritaskan peroslan lain ditengah kebutuhan prioritas sekumpulan desa atau daeerah yang ditangani secara luas.
Hal yang akan muncul dari sisi fisik bisa kita lihat ialah pembangunan sarana dan prasarana disegala bidang, upaya pengembangan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat yang semakin lebih terarah dan produktif karena cakupannya hanya berskala desa dan ditangani sendiri oleh desa bersangkutan.Pengembangan pembangnan lain seperti pengelolaan aset wisata, produk-produk lokal, pengembangan  kesempatan kerja, pengembangan penamabatan perhau, pengembangan kelompok-kelompok usaha, pengelolaan pasar desa dan sebagainya.
Selain kewenangan desa, ada prospek lain yang akan muncul ialah adanya motivasi pemerintah desa dalam dari anmemberikan pelayanan publik karena secara ekonomi pemerintah desa memperoleh gaji dari APBN yang dialokasokan ke APBD. Debngan pendapatan yang pastih serta setiap bulan, serta pendapatan lain yang sah akan mendorong kinerja kepala desa dan aparatnya untuk semakin lebih bertanggung jawab. Disini akan akan mampu meminimalisir kecenderungan aparat pemerintah untuk melakukan penyelewengan seperti korupsi. Hal ini berbeda dengan kehidupan pemerintahan desa sebelum adanya UU No 6 tahun 2014.
Sementara itu amanat UU No 6 tahun 2014 yang mewajibkan setiap desa untuk memiliki badan usaha milik desa Atau BUMDES menjadi sebuah terobosan yang akan menghidupkan perekonomian desa. Misalnya melalui BUMDES, berbagai usaha ekonomi masyarakat dapat menjadi lebih diberdayakan, berbagai potensi desa dapat dikelola secara bersama yang hasilnya akan dimanfaatkan untuk pembangunan desa dan kesejatraan ekonomi masyarakat. Melalui unit-unit pengelolaan Bumdes yang akan dikembangkan akan memungkinkan terserapnya tenaga kerja serta tereksplorasinya potensi desa.
Dalam pelaksanaan pembangunan desa, dari kategori desa seperti desa administratif dan desa adat sebenarnya sebuah konfigurasi sistem yang sangat relevan karena desa adat yang diamanatkan secara tidak langsung negara telah mengakui akan hak asal usulnya.Sederetan nilai dan spiritualitas adat yang kini masih kuat di tingkat desa menjadi lebih hidup kembali sekaligus menjadi pilar yang menopang proses pembangunan dan pelayanan publik. Di beberapa daerah seperti DI NTT,Di Papua atau di daerah lain masyarakatnya masih kuat dengan tradisi budaya serta nilai-nilai lokal yang terkandung di dalamnya. Ada nilai kebersamaan, solidaritas, toleransi serta kekeluargaan juga struktur-struktur sosial lokal yang masih memiliki pengaruh yang kuat akan menjadi lebih diberdayakan.
Dengan memberikan kewenangan kepada desa, maka sebenarnya prospek lain yang juga akan muncul ialah adanya kesadaran kolektif komunitas yang merasa memiliki dan menghargai dalam proses pembangunan. Selama ini pembangunan desa yang di desain dari atas  telah membuahkan kerapuhan sistem sosial. Banyak fenomena yang muncul ialah keberpihakan kepada desa melalui daerah atau sekelompok dari luar disatu sisi mendorong perubahan desa tetapi disii lain telah memboncengi kepentingan luar yang didominasi oleh sejumlah elemen. Misalnya pemerintah daerah, politikus dan sebagainya.dengan kewenangan dan alokasi dana desa ini secara tidak langsung telah meminimalisir ketergantungan desa terhadap pemerintahan supra desa khususnya di daerah , sekaligus memangkas rantai politik dewasa ini yang notabene money politik terselubung melalui sejumlah program pendanaan atau modal.
Ada banyak program yang turun ke desa menjelang pemilihan umum dengan harapan akan mendapatkan dukungsan konstituen atau adanya program dana aspirasi dewan legislatif misalnya. Hal ini akan memicu persoalan transparansi, akuntabilitas serta memandang desa sebagai basis politik dengan cara politisasi dan sebagainya. Dalam konteks rekognisi refleksi atas kondisi ini secara lebih mendalam Sutoro Eko (41:2015), mengungkapkan rekognisi dimaksudkan untuk mengakui dan menghormati identitas,adat istiadat,serta pranata dan kearifan lokal sebagai bentuk tindakan keadilan.
Disisi lain demikian Sutoro Eko bahwa redistribusi uang negara kepada  desa merupakan resolusi untuk menjawab ketidakadilan sosial ekonomi karena intervensi,eksploitasi dan marginalisasi yang dilakukan oeh negara. Bahkan UU desa juga melakukan proteksi terhadap desa, bukan hanya proteksi kultural tetapi juga proteksi desa dari imposisi dan mutilasi yang dilakukan supradesa,politisi dan investor.
Kehadiran UU ini mempertegas posisi desa sebagai sebuah  identitas.dengan adanya kewenangan desa dan sejumlah hal lain seperti mengakui  hak asal usul desa serta dukungan dana dan penghasilan aparatur desa akan mendorong terjadinya pembangunan desa yang lebih partisipatif serta transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pembangunan desa.
Dalam kaitan dengan kondisi desa yang saat ini telah terkikis oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi semisal gotong royong, musawarah,partisipasi, solidaritas, pemberdayaan, komunalitas, kesetaraan dan demokrasi. Semua spirit budaya ini sadar atau tidak sadar telah luntur oleh adanya sistem pembangunan yang selama ini mengedepankan program pembangunan ala proyek, sentralist dan top down yang pada ujung-ujungnya adalah uang.Segala sesuatu dihargai uang. Dengan demikian orientasi uang telah merubah mindset masyarakat sehingga apapun bentuk kegiatan yang menghendaki partisipasi selalu dituntut dengan uang. Masyarakat sudah terkontaminasi dan tergantung dengan uang. Akibatnya modal sosial masyarakat menjadi luntur walaupun uang adalah hal yang memang harus dimiliki.
Dengan diberlakukan UU no 6 tahun 2014 yang mengamanatkan kewenangan kepada desa untuk mengatur dan mengontrol desanya sendiri barangkali menjadi suatu prospek konstruktif untuk membangun kembali kekuatan kekuatan desa seperti modal sosial. Modal sosial menjadi sumber utama terlaksananya pembangunan desa. Hal ini diperkuat lagi dengan desa adat dan prinsip pembangunan berbasis kearifan lokal. Artinya bahwa dengan kewenangan diserahkan kepada desa serta pengakuan atas hak asal usul desa memungkinkan desa  dapat  menghidupkan kembali prinsip pembangunan di desa dengan mengacu pada tuntutan administrasi, tuntutan kearifan lokalnya.
Walaupun  demikian  prospek  pembangunan kedepan dalam semangat UU No 6  tahun  2014, sejumlah tantangan mesti juga ditelusuri guna menemukan sebuah upaya antisipatif dan solusi, sehingga kedepannya dapat dilakukan upaya - upaya prefentif.

Tantangan atau Hambatan
Persoalan Sumber  Daya  Manusia: persoalan pendidikan yang rendah serta minimnya Persoalan sumber daya manusia aparatur desa dalam memahami undang-undang desa serta penjelasan tentang undang undang desa masih sangat minim. Selain itu pengetahuan tentang manajemen kepemimpinan, pola dan pendekatan serta strategi pembangunan dan persoalan lain yang mempengaruhi seperti persoalan politik yang kadang mempolitisasi desa.
Sementara itu fenomena pengalaman sistem pembangunan dari masa orde baru hingga masa reformasi saat ini masih kuat dalam memori masyarakat desa. Fenomena tersebut seperti adanya presepsi bahwa program pemberdayaan masyarakat masih dipandang sebagai sebuah proyek yang berujung pada uang.Persoalan dilematis yang lain ialah hilangnya kepercayaan masyarakat atas pengalaman umum adanya kasus korupsi serta merosotnya moralitas pemimpin atas komitmen transparansi dalam pelayanan publik. Faktor keteladanan dan panutan menjadi salah satu faktor penentu partisipasinya masyarakat dalam pembangunan..
Disisi lain tantangan datang dari adanya sistem pembangunan yang selama ini terkesan top down dan lebih di dominasi oleh elite desa, walaupun banyak pihak yang mengatakan reformasi telah merubah tatanan pemerintahan tetapi dilevel desa khususnya desa-desa yang sangat jauh dari kondisi perkotaan, masih sangat nampak. Hal ini berkaitan dengan budaya yang sudah terbentuk selama ini.
Faktor berikutnya adalah besarnya kewenangan yang diberikan kepada desa melalui UU no 6 tahun 2014 akan pula memicu persoalan baru. Misalnya dalam uu tersebut walau telah memberi penguatan kepada BPD dalam melakukan pengwasan tetapi BPD hanya membahas dan menerima laporan dari masyarakat serta mengawasi kinerja pemerintah desa tanpa adanya suatu ketegasan yang bersifat punisment akan membuka peluang bagi ksewenangan administratif pemerintah desa dalam melakukan ketimpangan. Artinya keterlibatan BPD yang terbatas dan kurang mendetail dalam UU tersebut akan mengurangi sistem kontrol dari masyarakat melalui wakilnya di BPD. Hal ini beralasan sebab di dalam Dalam undang-undang tersebut, BPD berada diluar batasan pengertian pemerintahan desa. sebab pertanggungjawaban akhir tahun anggaran dan akhir masa jabatan kepala desa disampaikan kepada kepala daerah, dan bukan kepada BPD.
Hal lain yang juga menjadi tantangan ialah masa jabatan kepala desa selama 6 tahun dan selama tiga periode. Lamahnya masa jabatan ini baik secara berturut turut maupun tidak akan membuka ruang yang memungkinkan terjadinya kesewenangan.  Berbagai persoalan ini menjadi suatu kekuatiran yang akan menjadi tantangan kedepan ketika negara menghendaki adanya otonomi desa.

Strategi Antisipatif dan solusif

Agar akselerasi pembangunan sebagaimana semangat UU No 6 tersebut berjalan secara baik dan benar-benar substantif maka upaya antisipatif dan solusi mesti dicermati  terutama dalam bingkai regulasi, serta agenda pemberdayaan masyarakat.

1.    Upaya solusif teknis regulasi:
Dalam bingkai regulasi UU desa mesti dipertegas lagi dengan regulasi turunan ditingkat daerah dengan menempatkan persoalan persoalan substantif yang terjadi dilapangan. Ambiugitas pemahaman terhadap isi UU desa akan melahirkan multitafsir ditingkat masyarakat dalam pelaksanaannya.h bentuk pertanggungjawaban secara moril)
Adanya kejelasan aturan aturan teknis yang berkaitan dengan:
·         Hubungan kewenangan antara pemerintah desa dengan lembaga lembaga internal Desa, serta lembaga supra desa.
·         Adanya sebuah bentuk chek and balance dalam pertanggungjawaban Kepala desa dalam hal keuangan dari APBN dan APBD atau sumber lain kepada pemerintah supra desa tetapi juga perlu adanya suatu konsensus bersama diantara pemerintah desa dengan masyarakat sesuai mekanisme lokal atau kearifannya ( sebu h bentuk pertanggungjawaban secara moril). Selama ini kepala desa mempertanggungjawabakan LKPJ nya kepada Bupati melalui camat sementara BPD hanya sebagai bentuk keterangan pertanggungjawaban. Hal ini memicu persoalan dimasyarakat karena ada praktek konspirasi antara lembaga lembaga desa.
·         Perlu adanya ketegasan aturan yang berkaitan dengan keterlibatan pemerintah desa dengan partai politik.Demi menjaga konsistensi serta keseimbangan pemerintahan desa dan hakikat otonominya maka hendaknya pemerintah desa bersifat otonom dan dilarang secara ketat untuk terlibat dalam kepengurusan partai.
·         Perlu adanya aturan teknis yang mengatur tentang kerja sama pemerintah desa dengan tokoh adat demi keberlangsungan proses pembangunan. Hal ini mengingat eksistensi desa adalah sebuah wilayah administratif pemerintahan tetapi juga komunitas adat. Kendatipun sudah ada lembaga adat, namun lembaga adat yang ada adalah bentukan dari sebuah struktur pemerintah yang memungkinkan intervensi internal antara lembaga tersebut. Lembaga adat harus menjadi lembaga yang independet yang di bentuk oleh masyarakat adat berdasarkan struktur sosialnya dan pemerintah desa hanya sebagai lembaga yang mensahkan. Hal ini harus diikuti dengan aturan teknisnya secara formal.Lembaga adat tersebut nantinya akan diposisikan sebagai sataekholders yang bermitra  tetapi bersifat otonom untuk konteksnya.
·         Adanya aturan teknis harus dapat memperjelas kewenangan lokal selain kewenangan berdasarkan asal-usul, dan kewenangan yang diperbantukan oleh pemerintah daerah, provinsi dan pemerintah pusat. Hal ini penting sebab kewenangan desa berskala lokal di setiap daerah sifat tidak seragam, bahkan mungkin tidak ada kecuali yang telah ada sebelumnya.
Akhirnya, suka atau tidak, ketika desa memiliki kewenangan yang luas, sumber keuangan yang menjanjikan, masa jabatan yang relatif lama, minimnya kontrol dari masyarakat dan supradesa, serta meningkatnya rangsangan pembentukan desa disamping kompetisi sumber daya, maka otonomi desa sekaligus demokrasi desa akan mengalami cobaan berat yang mungkin akan mendewasakannya, atau sekaligus mendegradasikannya ketitik nadir yang paling lemah.

2.    Strategi Pemberdayaan:

Pemberdayaan merupakan konsep alterntaif pembangunan yang sudah sejak tahun 1980-an digerakan oleh berbagai kalangan.Walau demikian ada banyak gerakan pemberdayaan masyarakat melalui sejumlah program pembangunan selama ini belum juga mengatasi persoalan dan problematika pembangunan khususnya masyarakat pedesaan. Banyak kesan yang muncul dari berbagai kalangan yang mengatakan bahwa program pembangunan berbasis pemberdayaan masyarakat saat ini lebih berorientasi kepada persoalan pembangunan fisik. Agus Purbahari misalnya mengungkapkan sejumlah pendapat dari berbagai kalangan termasuk kalangan birokrasi pemerintahan terhadap pelaksanaan program PNPM yang sebaran kegiatannya didominasi oleh pembangunan fisik sebesar 70 %.
Dengan demikian fenomena ini menempatkan orientasi pemberdayaan masyarakat menjadi suatu kajian menarik. Hal ini menjadi relevan ketika hadirnya UU No 6 tahun 2014 yang memandang UU desa sebagai sebuah peluang dan tantangan. Dari sisi peluang,  UU desa merupakan sebuah strategi negara dalam memberdayakan masyarakatnya. Dari sisi tantangan, strategi pemberdayaan menjadi sebuah pendekatan dalam mengantisipasi implementasi UU desa tersebut.
 Hal yag perlu diperhatikan ialah orientasi daripada gerakan pemberdayaan masyarakat. Pergeseran paradigma pembangunan ke paradigma pemberdayaan telah menempatkan masyarakat yang dulunya dipandang sebagai obyek pembangunan bergeser menjadi subjek pembangunan dalam konteks pemberdayaan masyarakat.Walau demikaian peratanyaan mungkin bisa mendorong apa yang semestinya di buat dengan pemberdayaan dalam implementasi UU no 6 Tahun 2014 bila realitasnya masih tetap seperti sebelum hadirnya UU ini ?
Mengacu pada pergeseran paradigma pemberdayaan masyarakat Sutoro Eko (2004: 249) mengatakan bahwa orientasi pemberdayaan adalah masyarakat dan institusi lokal. Hal ini menjadi titik krusial dalam pembangunan khususnya dalam implementasi UU No 6 tahun 2014. Rasionalisasi yang sangat sederhana ialah bahwa perubahan yang mendasar dalam menciptakan kemandirian masyarakat khususnya amanat dari UU tersebut bukan terletak pada alokasi anggaran miliaran rupiah ke desa, bukan pula terletak pada pemberian kewenangan desa yang cukup besar atau otonomi desa, bukan pula terletak pada mendorong penghasilan kepala desa dan aparat melalui APBN dan APBD, atau bukan pula karena penambahan masa jabatan kepala desa hingga tiga periode atau penambahan tugas dan fungsi BPD. Perubahan desa juga tidak saja hanya karena UU desa tersebut mewajibkan setiap desa memiliki BUMdes sebab semua ini boleh dikatakan sebagai sebuah instrumen yang ikut mendorong perubahan desa tetapi hal yang paling mendasar adalah bagaimana manusia atau masyarakat yang menggerakan semua itu termasuk institusi lokal dimana manusia menjalankan tugas dan fungsinya.
Margot Berton dalam Sutoro Eko ( 2004: 249) mengatakan bahwa gagasan pemberdayaan berangkat dari realitas objektif yang merujuk pada kondisi struktural yang timpang dari sisi alokasi kekuasaan dan pembagian akses sumberdaya masyarakat. Pemahaman ini setidaknya merupakan sebuah refleksi kritis atas ketimpangan sistem pembangunan yang merekomendasikan kepada semua pihak untuk menempatkan orientasi pemberdayaan yang lebih substantif ditengah hadirnya UU no 6 tahun 2014.
 Masyarakat atau manusia adalah subjek pembangunan dan institusi lokal adalah sebuah wadah dimana manusia mengakomodasi dan membobilisasi kepentingan yang bersifat publik.Dengan demikian maka gerakkan pemberdayaan mesti memperlihatkan manusia sebagai sebuah “institusi” yang otonom sekaligus yang dinamis.Artinya manusia adalah sebuah struktur kehidupan yang mewakili dirinya sebagai sebuah eksistensi. Disisi lain ditengah eksistensinya sebagai manusia yang pribadi itu, manusia memiliki kedinamisannya ditengah lingkungannya yang selalu diadaptasinya.
Oleh arena itu gerakan pemberdayaan diarahkan kepada upaya pengkapasitasan dirinya melalui sejumlah aspek yaitu aspek kognitif, aspek afeksi dan aspek prilaku. Ketika aspek ini diberdayakan maka harapan pembangunan yang partisipatif, mandiri dan berkelanjutan akan menjadi jawaban. Disisi lain ia memiliki sebuah daya yang selektif dalam mengembangkan potensi diri dan lingkungan dari pengaruh dan perkembangan lingkungan sekitarnya termasuk institusi sosial lainnya. Harapannya ia akan menjadi lebih kritis, lebih cerdas, lebih selektif, lebih peka,lebih meras memiliki dan menghargai dan kemudian mampu mengarahkan bagaimana ia harus bertindak.
UU desa dengan segala rekomendasinya hanya bisa dilaksanakan manakala manusia dan institusi lokal mampu membangun kekuatan dirinya untuk mengembangkan dan memanfaatkannya. Untuk itu proses pemberdayaan masyarakat menjadi sangat penting untuk dilakukan. Terlepas dari hiruk pikuknya perdebatan yang mencari prioritas pemberdayaan masyarakat khususnya masyarakat desa, konsep governance menjadi sebuah konsepsi pembangunan yang sinergi dan kolaboratif.
 Hetifa Sj Sumarto (   ) menyebutkan governance sebagai sebuah konsep dimana negara mesti membagi peran  baik kepada pemerintah, civil society dan swasta atau pasar. Kondisi ini telah terelisir hampir disemua daerah namun bila dikritisi lebih jauh, penerpan konsep ini masih menjadi penerapan yang parsial dan kurang mendekatkan pada realitas lokal. Dalam kaitan dengan implementasi UU No 6 tahun 2014 maka konsep governance dapat diterapkan ke desa sebagai unit terkecil dengan memadukan berbagai elemen masyarakat yang ada di desa. Ruang ini mesti dibuka guna menjawabi kegalauan ditengah hadirnya UU No 6 tersebut. Walau demikian desa tetap membangun hubungan timbal balik dengan pihak staekholders luar yang lebih besar.
Memadukan lembaga lembaga sosial desa dalam kearifan lokalnya menjadi sebuah kekuatan institusional yang non formal itu mesti diformalkan melalui regulasi di tingkat desa. Hal ini diikuti dengan pembagian tugas dan fungsi yang dilegalkan melalui keterpaduan legitimasi adat dan desa sebagai wilayah administrasi pemerintahan. Institusi sosial masyarakat seperti Pemerintah desa, Tokoh adat dan tooh agama serta organisasi sosial desa yang ada.
Dalam menerapkan pemberdayaan masyarakat di tengah hadirnya UU No 6 tahun 2014, Pemerintah di level desa perlu diberikan sosialisasi, pendidikan dan pembekalan serta pembinaan yang berkelanjutan. Pihak supra desa adalah fasilitator yang membuka ruang untuk kegiatan ini. Disisi lain penguatan institusi melalui kesadaran personil kelembagaan menjadi kekuatan yang menggerakan akselerasi pembangunan secara menyeluruh.
Kreativitas dan inovasi pemerintah desa sangat diharapkan dan tidak hanya mengacu pada persoalan rutinitas yang formal tetapi setidaknya dapat lebih agresif dalam membangun desanya. Bagi desa yang sangat kuat adat budayanya tetapi belum memenuhi syarat sebagai desa adat sebagaimana amanat UU No 6 karena persyaratan lainnya maka pemerintah desa dan atau pemerintah supra desa perlu memperhatikan beberapa aturan teknis yang dapat mengakomodir keterlibatan adat dalam urusan pemerintahan.
 Hal ini penting guna mengkolaborasikan semangat pembangunan yang berbasis kearifan loal. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa dalam uu tersebut telah menyebutkan pembangunan desa berbasis kearifan loal tanpa ada suatu ketegasan yang jelas.
Arah pemberdayaan masyarakat diarahkan kepada persoalan ini yakni persoalan manusia dan institusi lokalnya. Semua ini bertujuan untuk mengaplikasikan UU no 6 tahun 2014 menuju perubahan desa yang mandiri dan sejahtera. Penulis memandang bahwa berbagai uraian tersebut diatas merupakan pengalaman yang ada di sejumlah daerah dan desa.

MENUJU PEMBANGUNAN DESA MANDIRI DALAM BINGKAI UU NO 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA ( SEBUAH KAJIAN PROSPEK PEMBANGUNAN DALAM IMPLEMENTASI UU NO 6 TAHUN 2014)



MENUJU PEMBANGUNAN DESA MANDIRI DALAM BINGKAI UU NO 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA
( SEBUAH KAJIAN PROSPEK PEMBANGUNAN DALAM IMPLEMENTASI UU NO 6 TAHUN 2014)
Oleh :
Hironimus Lagadoni Tukan, S.Sos


Sebuah Pengantar:
UU N0 6 tahun 2014 tentang desa merupakan sebuah  instrumen kebijakan formal  pembangunan bangsa yang meletakan desa sebagai sebuah komunitas masyarakat indonesia yang mesti diberdayakan guna mencapai kemandirian dan kesejateraan masyarakat.dengan demikian UU tersebut merupakan sebuah ruang kebijakan yang memberikan otoritas kepada desa untuk mengeksplorasi potensi lokalnya untuk pembangunan masyarakat baik secara pribadi maupun kolektif.
Pembangunan bangsa selama ini dengan sistem sentralistik dan top down oleh banyak kalangan dipandang sebagai sistem yang telah menciptsksn kegagalan dan ketergantungan bagi masyarakat. Implementasi selama ini sekan mengeksploitasi sumber daya masyarakat yang telah mendiskreditkan masyarakat khususnya masyarakat desa. Berbagai persoalan muncul seperti ketidak adilan, ketidakmerataan atau kesenjangan pembangunan yang kurang memberikan ruang eksplorasi sumber daya lokal sehingga kehadiran UU desa no 6 tahun 2014 merupakan sebuah regulasi bangsa yang mencoba untuk mendesain pembangunan desa berbasis kearifan lokalnya.
Untuk itu Pembangunan desa sebagaimana UU no 6 tahun 2014 tentang desa tersebut menurut Tri Nugroho dalam pemaparan materi perkuliahan menjelaskan ada sejumlah paradigma pembangunan yang terdapat didalam UU tersebut antara lain: Rekognisi atau pengakuan terhadap hak asal usul desa, Subsidiartitas, Keberagaman bukan penyeragaman, Kebersamaan, Kegotongroyongan, Kekeluargaan, Musawarah, demokrasi, kemandirian, Partisipasi, Kesetaraan,Pemberdayaan, dan Keberlanjutan. Sementara Sutoro Eko dalam Regulasi baru,desa baru (   2015), menyebutkan bahwa uu No 6 tahun 2014 memiliki dua paradigma yaitu paradigma Rekognisi dan paradigma Subsiadiritas.
Sejumlah paradigma ini menjadi intisari spirit pembangunan desa dalam UU tersebut. Diharapkan bahwa UU Desa menjadi seperangkat regulasi yang legal formal yang mengakui dan memberi kewenangan kepada desa untuk mengatur dan menurus rumah tangganya berdasarkan hak asal usul desanya serta mengakomodir potensi loklnya yang sangat multikuluralis. Dengan demikian pembangunan desa diharapkan pula dapat memberika aura baru pembangunan desa yang lebih partisipatif dan akomodatif dalam pencapaian kemandirian dan kesejatraan masyarakat ditengah pengalaman ketidak adilan, ketidakmerataan serta kesenjangan dalam sejarah pembangunan bangsa khususnya dalam hubungan antara desa dengan pemerintahan supra desa, antara desa dengn masyarakat desa.
Untuk itu UU desa No 6 Tahun 2014 adalah sebuah bentuk pengakuan yang melegitimasi posisi dan kedudukan desa dan komunitasnya berdasarkan hak asul usulnya sekaligus mendorong perubahan desa sebagai sebuah identitas ke arah kemajuan. Walau demikian kehadiran UU desa disatu sisi menjadi suatu harapan tetapi disisi lain menjadi sebuah tantangan yang mesti dibangun dalam sebuah sinergisitas yang kolaboratif antar elemen masyarakat guna mencapai visi dan misi kemandirian dan kesejateraan masyarakat.
Berangkat dari gambaran singkat tersbut diatas, UU desa no 6 tahun 2014 memiliki sejumlah prospek yang cukup inspiratif sekaligus reflektif dalam menjawabi mimpi dari visi dan misinya baik diranah konseptual maupun praksis implementatifnya. Dalam menjawabi pertanyaan besar Bagaimana prospek kemajuan pembangunan desa ditengah pelaksanaan UU No 6 tahun 2014 tentang desa yang kini berpihak pada desa. Pertanyaan besar ini akan dijawab dalam sebuah elaobarsi pemahaman penulis tentang berbagai amanat UU No 6 tahun 2014 tentang desa.
Prospek dan Dinamikanya :
Berbicara tentang undang undang tersebut, jelas terlihat bahwa UU tersebut memberikan peluang bagi otonomi desa. Beberapa keistimewaan dari UU ini antara lain: pengalokasian dana miliaran ruupiah ke desa dari APBN dan APBD, Penghasilan kepala desa dan aparat desa,Kewenagan kepala desa, masa jabatan Kepala desa yang bertambah hingga tiga periode, Penguatan fungsi BPD.
Dengan mengacu pada paradigma pembangunan yang terkatub dalam UU Desa tersebut diatas, yakni Rekognisi dan asas subsiadiritas maka kehadiran UU desa no 6 tahun 2014 memberikan pengakuan kepada desa berdasarkan hak asal usul desa. Pengakuan akan otonomi desa sebenarnya telah ada sejak diterapkannya UU 5/1979    dan    UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi desa saat itu seakan tumbuh kemali namum tidak diimplementasikan secara lebih spesifik.
Saat itu  otonomi desa justru mengalami penyusutan akibat adanya ekspansi otonomi daerah. Semakin luas hak mengatur dan mengurus yang dikembangkan pemerintah daerah atas nama hak dan kewajiban otonomi, bersamaan dengan itu menyusut pula makna otonomi desa. Desa menjadi powerless, kehilangan kewenangan sekalipun secara ekpslisit dikatakan memiliki otonomi asli.   Kini desa melalui Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 muncul kembali dan semakin eksplisit dengan mendasar pada dua pendekatan yaitu Rekognisi dan subsiadiritas. Kehadiran UU desa ini  setidaknya ingin menjawab dua problem utama, yaitu mengembalikan otonomi asli desa , serta pada saat yang sama mengembangkan otonomi desa untuk membatasi intervensi otonomi daerah pasca reformasi.
Jika mempelajari substansi pengaturan soal desa dalam batang tubuh, tampak bahwa rezim desa kali ini dengan jelas menjawab persoalan pertama, yaitu menegaskan kembali keragaman desa sebagaimana lebih awal telah dikoreksi oleh UU 22/1999 dan UU 32/2004. Desa dan atau nama lain berhak mengatur dan mengurus urusannya masing-masing berdasarkan hak asal usul yang diakui dan dihormati oleh negara berdasarkan amanah konstitusi pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Bahkan lebih dari itu rezim ini memberi tempat bagi tumbuhnya desa adat diluar desa administratif.
Terhadap persoalan kedua tampak bahwa desa diharapkan mampu mengembangkan otonomi aslinya untuk membatasi kuasa otonomi daerah yang mengancam hingga ke pori-pori desa  dalam praktek sebelumnya. Untuk mewujudkan harapan tersebut rezim kali ini memberi senjata yang lebih efektif digunakan desa dalam meningkatkan bargaining position ketika berhadapan dengan supradesaPersoalannya adalah apakah pengaturan soal desa kedepan akan memberi peluang ataukah menjadi ancaman nyata bagi pertumbuhan dan perkembangan otonomi desa?
Beberpa prospek pembangunan melalui UU No 6 tahun 2014 bagi desa dalam implementasinya ialah, Melalui kewenangan yang diberikan kepada desa, maka kreativitas dan inovasi akan menjadi lebih menggelora karena didasari adanya demokratisasi desa dengan sedikit meninggalkan intervensi supra desa.Artinya bahwa selama ini segala bentuk aspirasi kreativ dan inovasi yang muncul didesa cenderung bergantung pada petunjuk atau regulasi yang datang dari supra desa dengan sifatnya yang sangat universal dan kurang membumi pada kondisi desa.
Melalui kewenangan tersebut, Pemerintah desa dan masyarakat desa akan lebih kreatif dalam mendesain pembangunan desa berdasarkan kearifan-kearifan desa. Berbagai kondisi dan potensi yang ada didesa dapat dikembangkan sesuai kebutuhan riil masyarakat dengan mengacu pada keadaan geografis, lingkungan, kelembagaan, nilai-nilai yang dianuti serta keyakinan yang dianuti oleh masyarakat desa.
Kondisi ini diyakini akan lebih aspiratif dan akomodatif karena dapat memungkinkan proses pembangunan yang partisipatif dan berkelanjutan.
Dalam melaksanakan kewenangan desa tersebut khususnya dalam peningkatan pelayanan publik dibidang pemerintahan, pembangunan dan kemsayarakatan, didukung dengan alokasi anggaran yang cukup signifikan.    
 Dengan kewenangan yang demikian serta dukungan dana desa maka desa dalam upaya pelayanan publik dapat menjadi semakin optimal. Dengan demikian prospek lanjutan dari undang undang desa ini akan lebih menghidupkan kondisi atau potensi desa yang selama ini tertidur. Ada banyak potensi desa yang selama ini tertidur yang disebabkan karena kurangya dukungan dana serta mekanisme aturan yang sangat uniformalis sehingga kurang adaptif dan akomodatif terhadap potensi desa.
Artinya bahwa dalam mekanisme regulasi yang selama ini terjadi lebih cenderung bersifat umum dan sangat parsial bila dikaji dari persoalan desa per desa.atau sebut saja ada penyeragaman aturan atau regulasi yang bersekala nasional dan regional.  Semakin besar dan umum sifat dari suatu aturan atau regulasi semakin pula menciptakan kesenjangan penanganan potensi, dan semakin kecil ruang lingkup atau basis sebuah komunitas maka regulasi yang diperuntukan bagi komunitas itu semakin lebih kompleks, lebih mendalam dan menjangkau.
Dengan adanya kewenangan dan dukungan dana tersebut desa menjadi leluasa dalam menentukan pilihan serta kreatif mendesain pola pembangunan berdasarkan identifikasi persoalan dan kebutuhan dari persoalan yang paling kecil yang selama ini tidak diakomodir karena lebih memprioritaskan peroslan lain ditengah kebutuhan prioritas sekumpulan desa atau daeerah yang ditangani secara luas.
Hal yang akan muncul dari sisi fisik bisa kita lihat ialah pembangunan sarana dan prasarana disegala bidang, upaya pengembangan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat yang semakin lebih terarah dan produktif karena cakupannya hanya berskala desa dan ditangani sendiri oleh desa bersangkutan.Pengembangan pembangnan lain seperti pengelolaan aset wisata, produk-produk lokal, pengembangan  kesempatan kerja, pengembangan penamabatan perhau, pengembangan kelompok-kelompok usaha, pengelolaan pasar desa dan sebagainya.
Selain kewenangan desa, ada prospek lain yang akan muncul ialah adanya motivasi pemerintah desa dalam dari anmemberikan pelayanan publik karena secara ekonomi pemerintah desa memperoleh gaji dari APBN yang dialokasokan ke APBD. Debngan pendapatan yang pastih serta setiap bulan, serta pendapatan lain yang sah akan mendorong kinerja kepala desa dan aparatnya untuk semakin lebih bertanggung jawab. Disini akan akan mampu meminimalisir kecenderungan aparat pemerintah untuk melakukan penyelewengan seperti korupsi. Hal ini berbeda dengan kehidupan pemerintahan desa sebelum adanya UU No 6 tahun 2014.
Sementara itu amanat UU No 6 tahun 2014 yang mewajibkan setiap desa untuk memiliki badan usaha milik desa Atau BUMDES menjadi sebuah terobosan yang akan menghidupkan perekonomian desa. Misalnya melalui BUMDES, berbagai usaha ekonomi masyarakat dapat menjadi lebih diberdayakan, berbagai potensi desa dapat dikelola secara bersama yang hasilnya akan dimanfaatkan untuk pembangunan desa dan kesejatraan ekonomi masyarakat. Melalui unit-unit pengelolaan Bumdes yang akan dikembangkan akan memungkinkan terserapnya tenaga kerja serta tereksplorasinya potensi desa.
Dalam pelaksanaan pembangunan desa, dari kategori desa seperti desa administratif dan desa adat sebenarnya sebuah konfigurasi sistem yang sangat relevan karena desa adat yang diamanatkan secara tidak langsung negara telah mengakui akan hak asal usulnya.Sederetan nilai dan spiritualitas adat yang kini masih kuat di tingkat desa menjadi lebih hidup kembali sekaligus menjadi pilar yang menopang proses pembangunan dan pelayanan publik. Di beberapa daerah seperti DI NTT,Di Papua atau di daerah lain masyarakatnya masih kuat dengan tradisi budaya serta nilai-nilai lokal yang terkandung di dalamnya. Ada nilai kebersamaan, solidaritas, toleransi serta kekeluargaan juga struktur-struktur sosial lokal yang masih memiliki pengaruh yang kuat akan menjadi lebih diberdayakan.
Dengan memberikan kewenangan kepada desa, maka sebenarnya prospek lain yang juga akan muncul ialah adanya kesadaran kolektif komunitas yang merasa memiliki dan menghargai dalam proses pembangunan. Selama ini pembangunan desa yang di desain dari atas  telah membuahkan kerapuhan sistem sosial. Banyak fenomena yang muncul ialah keberpihakan kepada desa melalui daerah atau sekelompok dari luar disatu sisi mendorong perubahan desa tetapi disii lain telah memboncengi kepentingan luar yang didominasi oleh sejumlah elemen. Misalnya pemerintah daerah, politikus dan sebagainya.dengan kewenangan dan alokasi dana desa ini secara tidak langsung telah meminimalisir ketergantungan desa terhadap pemerintahan supra desa khususnya di daerah , sekaligus memangkas rantai politik dewasa ini yang notabene money politik terselubung melalui sejumlah program pendanaan atau modal.
Ada banyak program yang turun ke desa menjelang pemilihan umum dengan harapan akan mendapatkan dukungsan konstituen atau adanya program dana aspirasi dewan legislatif misalnya. Hal ini akan memicu persoalan transparansi, akuntabilitas serta memandang desa sebagai basis politik dengan cara politisasi dan sebagainya. Dalam konteks rekognisi refleksi atas kondisi ini secara lebih mendalam Sutoro Eko (41:2015), mengungkapkan rekognisi dimaksudkan untuk mengakui dan menghormati identitas,adat istiadat,serta pranata dan kearifan lokal sebagai bentuk tindakan keadilan.
Disisi lain demikian Sutoro Eko bahwa redistribusi uang negara kepada  desa merupakan resolusi untuk menjawab ketidakadilan sosial ekonomi karena intervensi,eksploitasi dan marginalisasi yang dilakukan oeh negara. Bahkan UU desa juga melakukan proteksi terhadap desa, bukan hanya proteksi kultural tetapi juga proteksi desa dari imposisi dan mutilasi yang dilakukan supradesa,politisi dan investor.
Kehadiran UU ini mempertegas posisi desa sebagai sebuah  identitas.dengan adanya kewenangan desa dan sejumlah hal lain seperti mengakui  hak asal usul desa serta dukungan dana dan penghasilan aparatur desa akan mendorong terjadinya pembangunan desa yang lebih partisipatif serta transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pembangunan desa.
Dalam kaitan dengan kondisi desa yang saat ini telah terkikis oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi semisal gotong royong, musawarah,partisipasi, solidaritas, pemberdayaan, komunalitas, kesetaraan dan demokrasi. Semua spirit budaya ini sadar atau tidak sadar telah luntur oleh adanya sistem pembangunan yang selama ini mengedepankan program pembangunan ala proyek, sentralist dan top down yang pada ujung-ujungnya adalah uang.Segala sesuatu dihargai uang. Dengan demikian orientasi uang telah merubah mindset masyarakat sehingga apapun bentuk kegiatan yang menghendaki partisipasi selalu dituntut dengan uang. Masyarakat sudah terkontaminasi dan tergantung dengan uang. Akibatnya modal sosial masyarakat menjadi luntur walaupun uang adalah hal yang memang harus dimiliki.
Dengan diberlakukan UU no 6 tahun 2014 yang mengamanatkan kewenangan kepada desa untuk mengatur dan mengontrol desanya sendiri barangkali menjadi suatu prospek konstruktif untuk membangun kembali kekuatan kekuatan desa seperti modal sosial. Modal sosial menjadi sumber utama terlaksananya pembangunan desa. Hal ini diperkuat lagi dengan desa adat dan prinsip pembangunan berbasis kearifan lokal. Artinya bahwa dengan kewenangan diserahkan kepada desa serta pengakuan atas hak asal usul desa memungkinkan desa  dapat  menghidupkan kembali prinsip pembangunan di desa dengan mengacu pada tuntutan administrasi, tuntutan kearifan lokalnya.
Walaupun  demikian  prospek  pembangunan kedepan dalam semangat UU No 6  tahun  2014, sejumlah tantangan mesti juga ditelusuri guna menemukan sebuah upaya antisipatif dan solusi, sehingga kedepannya dapat dilakukan upaya - upaya prefentif.

Tantangan atau Hambatan
Persoalan Sumber  Daya  Manusia: persoalan pendidikan yang rendah serta minimnya Persoalan sumber daya manusia aparatur desa dalam memahami undang-undang desa serta penjelasan tentang undang undang desa masih sangat minim. Selain itu pengetahuan tentang manajemen kepemimpinan, pola dan pendekatan serta strategi pembangunan dan persoalan lain yang mempengaruhi seperti persoalan politik yang kadang mempolitisasi desa.
Sementara itu fenomena pengalaman sistem pembangunan dari masa orde baru hingga masa reformasi saat ini masih kuat dalam memori masyarakat desa. Fenomena tersebut seperti adanya presepsi bahwa program pemberdayaan masyarakat masih dipandang sebagai sebuah proyek yang berujung pada uang.Persoalan dilematis yang lain ialah hilangnya kepercayaan masyarakat atas pengalaman umum adanya kasus korupsi serta merosotnya moralitas pemimpin atas komitmen transparansi dalam pelayanan publik. Faktor keteladanan dan panutan menjadi salah satu faktor penentu partisipasinya masyarakat dalam pembangunan..
Disisi lain tantangan datang dari adanya sistem pembangunan yang selama ini terkesan top down dan lebih di dominasi oleh elite desa, walaupun banyak pihak yang mengatakan reformasi telah merubah tatanan pemerintahan tetapi dilevel desa khususnya desa-desa yang sangat jauh dari kondisi perkotaan, masih sangat nampak. Hal ini berkaitan dengan budaya yang sudah terbentuk selama ini.
Faktor berikutnya adalah besarnya kewenangan yang diberikan kepada desa melalui UU no 6 tahun 2014 akan pula memicu persoalan baru. Misalnya dalam uu tersebut walau telah memberi penguatan kepada BPD dalam melakukan pengwasan tetapi BPD hanya membahas dan menerima laporan dari masyarakat serta mengawasi kinerja pemerintah desa tanpa adanya suatu ketegasan yang bersifat punisment akan membuka peluang bagi ksewenangan administratif pemerintah desa dalam melakukan ketimpangan. Artinya keterlibatan BPD yang terbatas dan kurang mendetail dalam UU tersebut akan mengurangi sistem kontrol dari masyarakat melalui wakilnya di BPD. Hal ini beralasan sebab di dalam Dalam undang-undang tersebut, BPD berada diluar batasan pengertian pemerintahan desa. sebab pertanggungjawaban akhir tahun anggaran dan akhir masa jabatan kepala desa disampaikan kepada kepala daerah, dan bukan kepada BPD.
Hal lain yang juga menjadi tantangan ialah masa jabatan kepala desa selama 6 tahun dan selama tiga periode. Lamahnya masa jabatan ini baik secara berturut turut maupun tidak akan membuka ruang yang memungkinkan terjadinya kesewenangan.  Berbagai persoalan ini menjadi suatu kekuatiran yang akan menjadi tantangan kedepan ketika negara menghendaki adanya otonomi desa.

Strategi Antisipatif dan solusif

Agar akselerasi pembangunan sebagaimana semangat UU No 6 tersebut berjalan secara baik dan benar-benar substantif maka upaya antisipatif dan solusi mesti dicermati  terutama dalam bingkai regulasi, serta agenda pemberdayaan masyarakat.

1.    Upaya solusif teknis regulasi:
Dalam bingkai regulasi UU desa mesti dipertegas lagi dengan regulasi turunan ditingkat daerah dengan menempatkan persoalan persoalan substantif yang terjadi dilapangan. Ambiugitas pemahaman terhadap isi UU desa akan melahirkan multitafsir ditingkat masyarakat dalam pelaksanaannya.h bentuk pertanggungjawaban secara moril)
Adanya kejelasan aturan aturan teknis yang berkaitan dengan:
·         Hubungan kewenangan antara pemerintah desa dengan lembaga lembaga internal Desa, serta lembaga supra desa.
·         Adanya sebuah bentuk chek and balance dalam pertanggungjawaban Kepala desa dalam hal keuangan dari APBN dan APBD atau sumber lain kepada pemerintah supra desa tetapi juga perlu adanya suatu konsensus bersama diantara pemerintah desa dengan masyarakat sesuai mekanisme lokal atau kearifannya ( sebu h bentuk pertanggungjawaban secara moril). Selama ini kepala desa mempertanggungjawabakan LKPJ nya kepada Bupati melalui camat sementara BPD hanya sebagai bentuk keterangan pertanggungjawaban. Hal ini memicu persoalan dimasyarakat karena ada praktek konspirasi antara lembaga lembaga desa.
·         Perlu adanya ketegasan aturan yang berkaitan dengan keterlibatan pemerintah desa dengan partai politik.Demi menjaga konsistensi serta keseimbangan pemerintahan desa dan hakikat otonominya maka hendaknya pemerintah desa bersifat otonom dan dilarang secara ketat untuk terlibat dalam kepengurusan partai.
·         Perlu adanya aturan teknis yang mengatur tentang kerja sama pemerintah desa dengan tokoh adat demi keberlangsungan proses pembangunan. Hal ini mengingat eksistensi desa adalah sebuah wilayah administratif pemerintahan tetapi juga komunitas adat. Kendatipun sudah ada lembaga adat, namun lembaga adat yang ada adalah bentukan dari sebuah struktur pemerintah yang memungkinkan intervensi internal antara lembaga tersebut. Lembaga adat harus menjadi lembaga yang independet yang di bentuk oleh masyarakat adat berdasarkan struktur sosialnya dan pemerintah desa hanya sebagai lembaga yang mensahkan. Hal ini harus diikuti dengan aturan teknisnya secara formal.Lembaga adat tersebut nantinya akan diposisikan sebagai sataekholders yang bermitra  tetapi bersifat otonom untuk konteksnya.
·         Adanya aturan teknis harus dapat memperjelas kewenangan lokal selain kewenangan berdasarkan asal-usul, dan kewenangan yang diperbantukan oleh pemerintah daerah, provinsi dan pemerintah pusat. Hal ini penting sebab kewenangan desa berskala lokal di setiap daerah sifat tidak seragam, bahkan mungkin tidak ada kecuali yang telah ada sebelumnya.
Akhirnya, suka atau tidak, ketika desa memiliki kewenangan yang luas, sumber keuangan yang menjanjikan, masa jabatan yang relatif lama, minimnya kontrol dari masyarakat dan supradesa, serta meningkatnya rangsangan pembentukan desa disamping kompetisi sumber daya, maka otonomi desa sekaligus demokrasi desa akan mengalami cobaan berat yang mungkin akan mendewasakannya, atau sekaligus mendegradasikannya ketitik nadir yang paling lemah.

2.    Strategi Pemberdayaan:

Pemberdayaan merupakan konsep alterntaif pembangunan yang sudah sejak tahun 1980-an digerakan oleh berbagai kalangan.Walau demikian ada banyak gerakan pemberdayaan masyarakat melalui sejumlah program pembangunan selama ini belum juga mengatasi persoalan dan problematika pembangunan khususnya masyarakat pedesaan. Banyak kesan yang muncul dari berbagai kalangan yang mengatakan bahwa program pembangunan berbasis pemberdayaan masyarakat saat ini lebih berorientasi kepada persoalan pembangunan fisik. Agus Purbahari misalnya mengungkapkan sejumlah pendapat dari berbagai kalangan termasuk kalangan birokrasi pemerintahan terhadap pelaksanaan program PNPM yang sebaran kegiatannya didominasi oleh pembangunan fisik sebesar 70 %.
Dengan demikian fenomena ini menempatkan orientasi pemberdayaan masyarakat menjadi suatu kajian menarik. Hal ini menjadi relevan ketika hadirnya UU No 6 tahun 2014 yang memandang UU desa sebagai sebuah peluang dan tantangan. Dari sisi peluang,  UU desa merupakan sebuah strategi negara dalam memberdayakan masyarakatnya. Dari sisi tantangan, strategi pemberdayaan menjadi sebuah pendekatan dalam mengantisipasi implementasi UU desa tersebut.
 Hal yag perlu diperhatikan ialah orientasi daripada gerakan pemberdayaan masyarakat. Pergeseran paradigma pembangunan ke paradigma pemberdayaan telah menempatkan masyarakat yang dulunya dipandang sebagai obyek pembangunan bergeser menjadi subjek pembangunan dalam konteks pemberdayaan masyarakat.Walau demikaian peratanyaan mungkin bisa mendorong apa yang semestinya di buat dengan pemberdayaan dalam implementasi UU no 6 Tahun 2014 bila realitasnya masih tetap seperti sebelum hadirnya UU ini ?
Mengacu pada pergeseran paradigma pemberdayaan masyarakat Sutoro Eko (2004: 249) mengatakan bahwa orientasi pemberdayaan adalah masyarakat dan institusi lokal. Hal ini menjadi titik krusial dalam pembangunan khususnya dalam implementasi UU No 6 tahun 2014. Rasionalisasi yang sangat sederhana ialah bahwa perubahan yang mendasar dalam menciptakan kemandirian masyarakat khususnya amanat dari UU tersebut bukan terletak pada alokasi anggaran miliaran rupiah ke desa, bukan pula terletak pada pemberian kewenangan desa yang cukup besar atau otonomi desa, bukan pula terletak pada mendorong penghasilan kepala desa dan aparat melalui APBN dan APBD, atau bukan pula karena penambahan masa jabatan kepala desa hingga tiga periode atau penambahan tugas dan fungsi BPD. Perubahan desa juga tidak saja hanya karena UU desa tersebut mewajibkan setiap desa memiliki BUMdes sebab semua ini boleh dikatakan sebagai sebuah instrumen yang ikut mendorong perubahan desa tetapi hal yang paling mendasar adalah bagaimana manusia atau masyarakat yang menggerakan semua itu termasuk institusi lokal dimana manusia menjalankan tugas dan fungsinya.
Margot Berton dalam Sutoro Eko ( 2004: 249) mengatakan bahwa gagasan pemberdayaan berangkat dari realitas objektif yang merujuk pada kondisi struktural yang timpang dari sisi alokasi kekuasaan dan pembagian akses sumberdaya masyarakat. Pemahaman ini setidaknya merupakan sebuah refleksi kritis atas ketimpangan sistem pembangunan yang merekomendasikan kepada semua pihak untuk menempatkan orientasi pemberdayaan yang lebih substantif ditengah hadirnya UU no 6 tahun 2014.
 Masyarakat atau manusia adalah subjek pembangunan dan institusi lokal adalah sebuah wadah dimana manusia mengakomodasi dan membobilisasi kepentingan yang bersifat publik.Dengan demikian maka gerakkan pemberdayaan mesti memperlihatkan manusia sebagai sebuah “institusi” yang otonom sekaligus yang dinamis.Artinya manusia adalah sebuah struktur kehidupan yang mewakili dirinya sebagai sebuah eksistensi. Disisi lain ditengah eksistensinya sebagai manusia yang pribadi itu, manusia memiliki kedinamisannya ditengah lingkungannya yang selalu diadaptasinya.
Oleh arena itu gerakan pemberdayaan diarahkan kepada upaya pengkapasitasan dirinya melalui sejumlah aspek yaitu aspek kognitif, aspek afeksi dan aspek prilaku. Ketika aspek ini diberdayakan maka harapan pembangunan yang partisipatif, mandiri dan berkelanjutan akan menjadi jawaban. Disisi lain ia memiliki sebuah daya yang selektif dalam mengembangkan potensi diri dan lingkungan dari pengaruh dan perkembangan lingkungan sekitarnya termasuk institusi sosial lainnya. Harapannya ia akan menjadi lebih kritis, lebih cerdas, lebih selektif, lebih peka,lebih meras memiliki dan menghargai dan kemudian mampu mengarahkan bagaimana ia harus bertindak.
UU desa dengan segala rekomendasinya hanya bisa dilaksanakan manakala manusia dan institusi lokal mampu membangun kekuatan dirinya untuk mengembangkan dan memanfaatkannya. Untuk itu proses pemberdayaan masyarakat menjadi sangat penting untuk dilakukan. Terlepas dari hiruk pikuknya perdebatan yang mencari prioritas pemberdayaan masyarakat khususnya masyarakat desa, konsep governance menjadi sebuah konsepsi pembangunan yang sinergi dan kolaboratif.
 Hetifa Sj Sumarto (   ) menyebutkan governance sebagai sebuah konsep dimana negara mesti membagi peran  baik kepada pemerintah, civil society dan swasta atau pasar. Kondisi ini telah terelisir hampir disemua daerah namun bila dikritisi lebih jauh, penerpan konsep ini masih menjadi penerapan yang parsial dan kurang mendekatkan pada realitas lokal. Dalam kaitan dengan implementasi UU No 6 tahun 2014 maka konsep governance dapat diterapkan ke desa sebagai unit terkecil dengan memadukan berbagai elemen masyarakat yang ada di desa. Ruang ini mesti dibuka guna menjawabi kegalauan ditengah hadirnya UU No 6 tersebut. Walau demikian desa tetap membangun hubungan timbal balik dengan pihak staekholders luar yang lebih besar.
Memadukan lembaga lembaga sosial desa dalam kearifan lokalnya menjadi sebuah kekuatan institusional yang non formal itu mesti diformalkan melalui regulasi di tingkat desa. Hal ini diikuti dengan pembagian tugas dan fungsi yang dilegalkan melalui keterpaduan legitimasi adat dan desa sebagai wilayah administrasi pemerintahan. Institusi sosial masyarakat seperti Pemerintah desa, Tokoh adat dan tooh agama serta organisasi sosial desa yang ada.
Dalam menerapkan pemberdayaan masyarakat di tengah hadirnya UU No 6 tahun 2014, Pemerintah di level desa perlu diberikan sosialisasi, pendidikan dan pembekalan serta pembinaan yang berkelanjutan. Pihak supra desa adalah fasilitator yang membuka ruang untuk kegiatan ini. Disisi lain penguatan institusi melalui kesadaran personil kelembagaan menjadi kekuatan yang menggerakan akselerasi pembangunan secara menyeluruh.
Kreativitas dan inovasi pemerintah desa sangat diharapkan dan tidak hanya mengacu pada persoalan rutinitas yang formal tetapi setidaknya dapat lebih agresif dalam membangun desanya. Bagi desa yang sangat kuat adat budayanya tetapi belum memenuhi syarat sebagai desa adat sebagaimana amanat UU No 6 karena persyaratan lainnya maka pemerintah desa dan atau pemerintah supra desa perlu memperhatikan beberapa aturan teknis yang dapat mengakomodir keterlibatan adat dalam urusan pemerintahan.
 Hal ini penting guna mengkolaborasikan semangat pembangunan yang berbasis kearifan loal. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa dalam uu tersebut telah menyebutkan pembangunan desa berbasis kearifan loal tanpa ada suatu ketegasan yang jelas.
Arah pemberdayaan masyarakat diarahkan kepada persoalan ini yakni persoalan manusia dan institusi lokalnya. Semua ini bertujuan untuk mengaplikasikan UU no 6 tahun 2014 menuju perubahan desa yang mandiri dan sejahtera. Penulis memandang bahwa berbagai uraian tersebut diatas merupakan pengalaman yang ada di sejumlah daerah dan desa.