SEKOLAH PEMBERDAYAAN
DAN REVITALISASI PEMBANGUNAN
Oleh:
Hironimus Lagadoni Tukan, S.Sos
Mahasiswa
Program Pascasarjana STPMD “APMD” Yogyakarta
Program
Studi Ilmu Pemerintahan, Konsentrasi Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan
merupakan konsep alternatif pembangunan yang saat ini digandrungi oleh semua
lapisan masyarakat. Secara konseptual, pemberdayaan kini menjadi sebuah konsep
ideal, logis rasioanal bahkan sistematis, tetapi menjadi cukup pelik dan rumit
untuk diimplementasikan. Kehadirannya seakan menjadi sebuah model yang
menjanjikan akan kemandirian dan kesejahtraan. Hal yang pasti ialah
pemberdayaan merupakan sebuah strategi konseptual yang diimplementasikan
sebagai strategi penanggulangan
kemiskinan masyarakat. Realitasnya, kemiskinan kini menjadi persoalan yang
rumit dan bahkan sulit untuk dihapuskan. Chambers memandang Pemberdayaan
sebagai sebuah pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial.
Barangkali pandangan ini seakan masih dilupakan oleh para penyelenggara
program, fasilitator dan masyarakat dalam program pembangunan berbasis pemberdayaan.
Tulisan ini mau
mengajak pembaca untuk merefleksikan dinamika pembangunan berbasis pemberdayaan
ditengah hadirnya UU No 6 tahun 2014 tentang desa yang pelaksanaannya di
daerah-daerah belum juga dioperasionalkan. Saat ini wacana pemberdayaan yang
ditegaskan dalam UU desa tersebut tengah mengalami sebuah proses transformasi,
ibarat persiapan dalam implementasinya.Carut marutnya pembangunan bangsa dan
daerah berbasis pemberdayaan selama ini ibarat pembelajaran yang patut untuk
direfleksikan.
Menelaah sejumlah program
pembangunan baik ditingkat pusat maupun di daerah selama ini nampaknya masih
menunjukan orientasi pembangunan fisik. PNPM sebagai program pembangunan
Nasional yang cukup glomower masih juga menyisihkan 75 prosen pembangunan
fisik. Tercatat pula bahwa pengalokasian dana bantuan PNPM berupa dana SPP untuk dikembangkan masyarakat dalam
pengembangan usaha produktif masih mengalami kegagalan. Kegagalan tersebut
diakibatkan karena salah sasaran, salah urus, kredit macet serta cenderung
digunakan untuk kebutuhan konsumtif. Hal ini kemudian menimbulkan ironi
terhadap persoalan kemiskinan dan penanggulangan kemiskinan. Tidak Cuma itu,
dalam berbagai hasil penelitian di sejumlah literatur menyebutkann bahwa
program pembangunan nasional maupun di daerah kabupaten/kota masih menuai
kegagalan bila dicermati dari sisi pemberdayaan.
Kemiskinan,
pengangguran, sikap ketergantungan serta merosotnya nilai-nilai sosial seperti
partisipasi, kebersamaan, kesetaraan, gotong royong, solidaritas, toleransi
serta transparansi dan akuntabilitas adalah bagian yang cukup ironis ditengah
gerakan pemberdayaan masyarakat. Pertanyaan yang kemudian muncul ialah
kemandirian dan kesejahtraan yang seperti apakah yang hendak dicapai ?.
Banyak sekali
hasil-hasil penelitian yang menunjukkan bahwa dalam pelaksanaannya
program-program pemberdayaan masyarakat
sangat tidak efektif, karena sifatnya yang langsung, hanya untuk
memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) masyarakat, selain karena masalah
ketidaktepatan sasaran, hal ini dinilai tidak memandirikan masyarakat.
Ketergantungan masyarakat terhadap ‘pemberian’ pemerintah semakin tinggi, dan
pada akhirnya justru akan semakin menghambat laju pertumbuhan ekonomi bangsa.
Studi yang dilakukan
Menayang dan Widodo dkk misalnya menyebutkan beberapa masalah pelaksanaan
program pemberdayaan diantaranya terletak pada kelemahannya dari segi manajemen pelaksanaan, kesiapan
masyarakat, dan lebih-lebih pada proses sosialisasinya, masyarakat tidak
memiliki kecukupan informasi tentang program pemberdayaan masyarakat dan masih
memahami program sebagai bantuan murni
(grand), proses sosialisasi yang sering dijalankan secara sepihak oleh para
perncana dan bersifat searah (one way
comunication) dan instruktif, kurang memperhatikan kondisi masyarakat
seperti pada konteks sistem komunikasinya, struktur masyarakatnya dan fungsi
institusi/lembaga lokal masyarakat setempat, sekalipun para petugas lapangan
(pendampingan) telah dilatih keterampilan berkomunikasi dan atau kemampuan
bersosialiasi, tetapi tanpa mengenal, memahami dan menggunakan peta komunikasi
sosial, serta pengetahuan tentang struktur masyarakat dan kebiasaan-kebiasaan
masyarakat setempat, perekrutan dan lemahnya pembekalan fasilitator.
Hal
ini menunjukan bahwa pelaksanaan program pemerintah berbasis pemberdayaan
masyarakat yang bertujuan untuk mengatasi kemiskinan serta meningkatkan
kesejahteraan hidup masih belum dilksanakan secara maksimal. Terkait dengan
itu, sebuah kesimpulan menarik dalam studi yang dilakukan oleh Yunus R. (2009)
menemukan kesimpulan mengapa berbagai program pemerintah berbasis pemberdayaan
tidak mengubah kondisi kemiskinan yaitu karena banyaknya penduduk yang membutuhkan bantuan tetapi tidak
tersentuh, sebab penentuan kelompok sasaran program pengentasan kemiskinan
sangat dipengaruh oleh kepentingan
aparat pelaksana, sehingga yang paling membutuhkan bantuan sering
terpinggirkan. Disisi lain perlu dilakukan rumusan tentang kriteria kemiskinan
yang beraras lokal.
Disebutkan
bahwa dari data yang tersedia pada umumnya hanya menjelaskan indikasi program-program
yang telah dan akan dilaksanakan tidak dapat mengungkapkan efektifitas
penggunaan dalam mengatasi kemiskinan di daerah atau dalam suatu kelompok
masyarakat tertentu serta berapa banyak penduduk miskin yang telah diangkat derajat
hidupnya melalui program-program pemberdayaan..
Hal ini tentunya menjadi ironis tentunya sebab dicermati bahwa hampir
semua SKPD di Indonesia yang memiliki
program pemberdayaan masyarakat serta ada badan/kantor/pemberdayaan masyarakat
di seluruh kabupaten/kota. Selain itu dalam struktur pemerintah desa/kelurahan,
juga dibentuk lembaga pemberdayaan masyarakat desa/kelurahan. Di sisi lain
dalam kalangan dunia usaha, baik BUMN/Swasta juga ada kewajiban melakukan
pemberdayaan masyarakat melalui program tanggungjawab sosial dan lingkungan
dalam bentuk program kemitraan dan Bina Lingkungan (PK-BL) di BUMN, maupun CSR (Corporate Social responsibility)
dikalangan swasta. Tetapi bahwa kenyataannya
menunjukan praktik pelaksanaan pemberdayaan masyarakat seringkali jauh
dari konsepnya. Kita tentunya berharap
bahwa UU no 6 tahun 2014 tentang desa menjadi sebuah kerangka logis dalam
membangun gerakan pemberdayaan masyarakat lebih rasional, efektif dan efisien.
Margot
Breton,(1994) menyebut bahwa gagasan
pemberdyaan masyarakat berangkat dari realitas objektif yang merujuk pada
kondisi struktural yang timpang dari alokasi kekuasaan dan pembagian akses
sumberdaya masyarakat.Hal ini tentunya juga diakui sebab persoalan struktural
dan pembagian akses berangkat dari sebuah otoritas kewenangan institusi publik dimana pemerintah
merupakan institusi penyelenggara negara. Hasil penelitian penulis terhadap
pelaksanaan pemberdayaan masyarakat miskin di sejumlah desa di NTT misalnya
baik dari progran PPK, NTADP, P2DTK, ADD, BLT, PNPM dan Anggur Merah ditemukan
bahwa kegagalan program tersebut juga berasal dari masyarakat. Dimana
mentalitas dan struktur budaya dan tradisi yang kuat telah turut menorehkan
kegagalan dalam konteks pemberdayaan masyarakat.
Bertolak
dari pandangan tersebut, sebenarnya sikap saling menyalahi adalah bukan
solusinya. Persoalan yang lebih penting adalah bagaimana merajut kembali benang
kusut pembangunan melalui pendekatan yang sinergis dan kolaboratif anatara
elemen masyarakat. Persoalan
inilah yang kemudian memunculkan perlunya revitalisasi konsep pembangunan dalam
pemberdayaan masyarakat. Hal yang paling penting dalam merevitaliassi konsep
pembangunan di ranah praktis implementasinya ialah menterjemahkan konsep
pemberdayaan ke ranah praktis. Sekolah pemberdayaan adalah pilihannya. Konsep
pemberdayaan menjadi sebuah konsep perubahan namun perubahan yang terjadi
nampaknya hanya menjadi sebuah selebrasi karena desakan agenda global yang
seakan memaksa sehingga semua merasa harus segera melakukan. Kita menerima
konsep pembangunan berbasis pemberdayaan yang ada lalu mengimplementasikan
secara praksis tanpa terlebih dahulu memahami dan mendalaminya, kemudian kita
menjadi inkositensi gerakan yang mengatasnamakan pemberdayaan.
Ada banyak kesulitan
dan tantangan yang dihadapi karena pemahaman akan konsep dan implementasinya
bersifat parsial. Kondisi ini tentunya membutuhkan sebuah proses pembelajaran
yang terlembaga dan terstruktur yakni Sekolah Pemberdayaan. Urgensi lain dari
sekolah pemberdayaan adalah penciptaan ruang bagi proses revitalisasi
pembangunan ke arah proses dan tidak semata pada tujuan akhir. Meletakan
pemberdayaan sebagai sebuah proses merupakan sebuah upaya pembelajaran
menciptakan kesadaran masyarakat untuk dapat berpikir sendiri, merasakan
sendiri dan bertindak sendiri. Dengan demikian
terobosan sekolah pemberdayaan dapat menjadi prototype sekolah masyarakat mandiri untuk mencapai kemandirian
dan kesejahtraan serta keseimbangan hidup.
Adapun hal penting dari sekolah pemberdayaan adalah, Pertama, dapat menjadi alternatif
menumbuhkan kesadaran masyarakat dari aspek kognitif, afeksi dan pola laku
masyarakat dan institusi dalam melakukan pembangunan. Dengan demikian akan
melahirkan masyarakat yang tahu, merasa memiliki dan bertindak sebagaimana
tujuan pemberdayaan. Kedua, membangun
dan mengembangkan kaderisasi pembangunan dengan model yang rasional, sistemik,
terukur dan bermartabat serta berdaya saing. Ketiga, sebagai wahana pembelajaran dan wadah sharing lintas sektor
terhadap permasalahan pembangunan untuk dikaji secara objektif dalam kondisi
kekiniannya. Keempat, Sekolah
pemberdayaan dapat menjadi wahana membangun diskurus perihal konsep pembangunan
(paradigma lama) dan konsep pemberdayaan (paradigma baru) yang berorientasi
pada masyarakat dan institusi serta dapat membangun diskursus anatara kebijakan
dan kebutuhan masyarakat.
Perubahan Kognitif, Afeksi
dan Pola laku
Hal penting dari sekolah pemberdayaan dikaitkan dengan adanya
kesadaran baru yakni perubahan mind set atau pola pikir masyarakat dan
penyelenggara institusi dari aspek kognitif, afeksi dan pola laku, dari pola
pikir lama ke pola pikir yang baru. Esensinya adalah menjadikan masyarakat
tahu, memahahami dan mengenal konsep, serta kondisi kekiniannya baik itu
politik, budaya maupun lingkungan lainnya termasuk mengenal dan memahami
potensi dirinya. Dari aspek afeksi, esensinya ialah mendorong kesadaran baru
masyarakat untuk merasa memiliki, menghargai, menghormati, merasa penting
semisal penting berpartisipasi terhadap apa yang akan dilakukan dan yang telah
dilakukan dalam program pembangunan berbasis pemberdayaan. Dari aspek pola laku
ialah menumbuhkan kesadaran bertindak sebagaimana apa yang diketahuinya atau
dipahaminya, dirasakannya sehingga gerakan pemberdayaan melalui program
pembangunan tersebut pada akhirnya dapat menciptakan kemandirian dan kesejahtraan.
Disinilah akan muncul inisiatif dan kreatifitas masyarakat dalam membangun dan
mengembangkan potensi dirinya dan lingkungannya.
Banyak persoalan yang muncul dari program pembangunan berbasis
pemberdayaan diantaranya dibangun dalam mekanisme birokratis yang sayarat
dengan penilaian administratif, bersifat instruktif serta pelaksanaannya lebih
cenderung pada petunjuk teknis dan mekanisme teknis yang difasilitasi oleh
fasilitator lapangan. Kreatifitas seorang fasilitator lapangan sangat
dibutuhkan dan inilah yang masih menjadi polemik kebanyakan orang. Berbagai
persoalan ini semestinya harus segera disikapi sehingga pencapaian visi
kolektif pembangunan bangsa yakni kemandirian dan kesejahtraan dapat
tercapai.Pada akhirnya sekolah pemberdayaan masyarakat menjadi alternatif
membangun kesadaran masyarakat dan institusi dalam menciptakan kemandirian dan
kesejahtraan serta keseimbangan hidup. Disinilah letak pentingnya sekolah
pemberdayaan dalam merevitalisasi pembangunan beraras kearifan lokal.
Menuju Implementasi UU
Desa
UU No 6 tahun 2014 tentang desa memiliki spiritualitas
pemberdayaan masyarakat. Sejumlah paradigma yang terkandung didalamnya antara
lain rekognitif, subsidiaritas. Kehadirnanya tidak sekedar sebagai sebuah
jawaban legal atas kebutuhan masyarakat khususnya masyarakat desa, melainkan
sebuah bentuk merevitalisasi konsep pembangunan dengan meletakan otonomi desa
dan mengembalikan identitas desa sebagai sebuah komunitas masyarakat yang
bercita-cita mandiri dan sejahtera.
Kehadiran UU desa tersebut merupakan sebuah kesadaran baru negara
yang berpihak kepada komunitas desa yang tidak sekedar dilihat dari adanya
alokasi anggaran sebesar Rp.1 miliar setiap desa pertahun, atau juga bukan
karena adanya sistem penggajian bagi aparat desa, penambahan masa kerja
aparatur desa, melainkan lebih dari itu UU desa menjadi seperangkat instrumen
legal negara yang mendorong gerakan pemberdayaan masyarakat desa untuk mandiri
dan sejahtera yang lebih partisipatif, kreatif, inovatif dan akomodatif serta
berkelanjutan.. Apapun amanatnya, pemberdayaan masyarakat menjadi sentral point
yang cukup menantang bagi implementasi pemberdayaan di aras lokal desa.
Ditengah kehadirnanya tersebut, kita ditantang antara peluang dan
ancaman ketika masih berada dalam kondisi dilematis antara konsep pembangunan
dan konsep pemberdayaan masyarakat. Saat ini sebelum kita jauh melangkah dan
tidak pada akhirnya mengembalikan sebuah posisi praktek pembangunan berbasis
pemberdayaan sebagaimana fenomena yang digambarkan pada uraian terdahulu, maka
sekolah pemberdayaan sekali lagi menjadi alternatif yang mesti dipikirkan,
paling tidak dapat mengurai benang kusut pembangunan masyarakat selama ini.
Merevitalisasi berarti proses untuk mengembalikan atau
menghidupkan kembali kondisi masyarakat yang pernah ada atau melakukan
perubahan dari dinamika kehudupan masyarakat sebagaimana prinsip pemberdayaan
masyarakat dalam rangka mendorong kemandirian masyarakat menuju kesejateraan
hidup.
Menata kembali apa yang pernah ada dan tidak dimaksudkan untuk
menghilangkan semuanya itu. Sebab Masyarakat desa di masa lalu adalah
masyarakat yang memiliki komunalitas yang tinggi. Mereka saling bekerja sama
tanpa harus diperintah, mereka hidup dari inisiatif dan kreativitas diri dan
lingkungannya, mereka saling berbagi dan bersolider. Paradigma lain dari UU
desa selain rekognisi dan subsidiaritas adalah, kebersamaan, Gotong royong,
keberagaman, kesetaraan, solidaritas, Pemberdayaan dan keberlanjutan serta
kemandirian. Sekolah pemberdayaan menjadi sangat relevan dalam membangun
semangat UU desa tersebut.
Tulisan ini mau mengajak pembaca untuk merefleksikan dinamika
pembangunan berbasis pemberdayaan yang dilakukan selama ini dan mencoba untuk
membangun sebuah energi baru dalam merevitalisasi pembangunan melalui sekolah
pemberdayaan. Sekolah pemberdayaan adalah sebuah upaya pembelajaran kapan dan
dimanapun, ia tidak semestinya dibatasi oleh dinding-dinding serta struktur dan
mekanisme yang birokratis tetapi pembelajaran bisa tercipta pada ruang-ruang
kebersamaan, ia bisa tercipta melalui forum warga, forum antar staekholders
ataupun lintas sektor. Akhirnya sekolah pemberdayaan menjadi penting ditengah
konstestasi politik pembangunan bangsa serta terpaan globalisasi mengatasnamakan
kemajuan dan modernitas tetapi mengendus semangat lokalitas dan kearifannya. UU
Desa adalah bingkai dari pemberdayaan masyarakat, ia menegaskan akan pentingnya
kemandirian dan kesejatraan masyarakat maka sekolah pemberdayaan menjadi sebuah
alternatif dalam proses merevitalisasi pembangunan baik pada nasional dipusat
dan daerah serta desa.
Relevansi sekolah pemberdayaan dalam konteks implementasi UU Desa
no 6 tahun 2015 adalah terakumulasinya konsep pembangunan berbasis pemberdayaan
dalam implementasinya serta upaya membangun kesadaran masyarakat secara
kognitif, afektif dan pola laku untuk sebuah kontiunitas pembangunan dalam
rangka mewujudkan kemandirian dan kesejahtraan. Disisi lain membangun sebuah
sinergisitas yang kolaboratif dalam mengakomodir konsep pembangunan lama dengan
konsep pembangunan yang baru yakni pemberdayaan pada ranah implementatif untuk
mewujudkan inisiatif kreartif masyarakat. Membuka ruang pengkajian yang lebih
mendalam serta akses dalam mengeksplorasi potensi lokal yang lebih mengakar untuk merumuskan kembali
kebijakan pembangunan di aras lokal demi kepentingan publik. Perubahan mind
set, afeksi dan pola laku serta dukungan modal, atau material lain dalam
mewujudkan pembangunan akan melahirkan sebuah proses merevitalisasi pembangunan
di aras lokal.