Jumat, 18 September 2015

SEKOLAH PEMBERDAYAAN DAN REVITALISASI PEMBANGUNAN



SEKOLAH PEMBERDAYAAN DAN REVITALISASI  PEMBANGUNAN
Oleh: Hironimus Lagadoni Tukan, S.Sos
Mahasiswa Program Pascasarjana STPMD “APMD” Yogyakarta
Program Studi Ilmu Pemerintahan, Konsentrasi Pemberdayaan Masyarakat


Pemberdayaan merupakan konsep alternatif pembangunan yang saat ini digandrungi oleh semua lapisan masyarakat. Secara konseptual, pemberdayaan kini menjadi sebuah konsep ideal, logis rasioanal bahkan sistematis, tetapi menjadi cukup pelik dan rumit untuk diimplementasikan. Kehadirannya seakan menjadi sebuah model yang menjanjikan akan kemandirian dan kesejahtraan. Hal yang pasti ialah pemberdayaan merupakan sebuah strategi konseptual yang diimplementasikan sebagai  strategi penanggulangan kemiskinan masyarakat. Realitasnya, kemiskinan kini menjadi persoalan yang rumit dan bahkan sulit untuk dihapuskan. Chambers memandang Pemberdayaan sebagai sebuah pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Barangkali pandangan ini seakan masih dilupakan oleh para penyelenggara program, fasilitator dan masyarakat dalam program pembangunan  berbasis pemberdayaan.
Tulisan ini mau mengajak pembaca untuk merefleksikan dinamika pembangunan berbasis pemberdayaan ditengah hadirnya UU No 6 tahun 2014 tentang desa yang pelaksanaannya di daerah-daerah belum juga dioperasionalkan. Saat ini wacana pemberdayaan yang ditegaskan dalam UU desa tersebut tengah mengalami sebuah proses transformasi, ibarat persiapan dalam implementasinya.Carut marutnya pembangunan bangsa dan daerah berbasis pemberdayaan selama ini ibarat pembelajaran yang patut untuk direfleksikan.
Menelaah sejumlah   program pembangunan baik ditingkat pusat maupun di daerah selama ini nampaknya masih menunjukan orientasi pembangunan fisik. PNPM sebagai program pembangunan Nasional yang cukup glomower masih juga menyisihkan 75 prosen pembangunan fisik. Tercatat pula bahwa pengalokasian dana bantuan PNPM berupa  dana SPP untuk dikembangkan masyarakat dalam pengembangan usaha produktif masih mengalami kegagalan. Kegagalan tersebut diakibatkan karena salah sasaran, salah urus, kredit macet serta cenderung digunakan untuk kebutuhan konsumtif. Hal ini kemudian menimbulkan ironi terhadap persoalan kemiskinan dan penanggulangan kemiskinan. Tidak Cuma itu, dalam berbagai hasil penelitian di sejumlah literatur menyebutkann bahwa program pembangunan nasional maupun di daerah kabupaten/kota masih menuai kegagalan bila dicermati dari sisi pemberdayaan.
Kemiskinan, pengangguran, sikap ketergantungan serta merosotnya nilai-nilai sosial seperti partisipasi, kebersamaan, kesetaraan, gotong royong, solidaritas, toleransi serta transparansi dan akuntabilitas adalah bagian yang cukup ironis ditengah gerakan pemberdayaan masyarakat. Pertanyaan yang kemudian muncul ialah kemandirian dan kesejahtraan yang seperti apakah yang hendak dicapai ?.
Banyak sekali hasil-hasil penelitian yang menunjukkan bahwa dalam pelaksanaannya program-program pemberdayaan masyarakat  sangat tidak efektif, karena sifatnya yang langsung, hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) masyarakat, selain karena masalah ketidaktepatan sasaran, hal ini dinilai tidak memandirikan masyarakat. Ketergantungan masyarakat terhadap ‘pemberian’ pemerintah semakin tinggi, dan pada akhirnya justru akan semakin menghambat laju pertumbuhan ekonomi bangsa.
Studi yang dilakukan Menayang dan Widodo dkk misalnya menyebutkan beberapa masalah pelaksanaan program pemberdayaan diantaranya terletak pada kelemahannya  dari segi manajemen pelaksanaan, kesiapan masyarakat, dan lebih-lebih pada proses sosialisasinya, masyarakat tidak memiliki kecukupan informasi tentang program pemberdayaan masyarakat dan masih memahami program sebagai bantuan murni (grand), proses sosialisasi yang sering dijalankan secara sepihak oleh para perncana dan bersifat searah (one way comunication) dan instruktif, kurang memperhatikan kondisi masyarakat seperti pada konteks sistem komunikasinya, struktur masyarakatnya dan fungsi institusi/lembaga lokal masyarakat setempat, sekalipun para petugas lapangan (pendampingan) telah dilatih keterampilan berkomunikasi dan atau kemampuan bersosialiasi, tetapi tanpa mengenal, memahami dan menggunakan peta komunikasi sosial, serta pengetahuan tentang struktur masyarakat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat setempat, perekrutan dan lemahnya pembekalan fasilitator.
Hal ini menunjukan bahwa pelaksanaan program pemerintah berbasis pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk mengatasi kemiskinan serta meningkatkan kesejahteraan hidup masih belum dilksanakan secara maksimal. Terkait dengan itu, sebuah kesimpulan menarik dalam studi yang dilakukan oleh Yunus R. (2009) menemukan kesimpulan mengapa berbagai program pemerintah berbasis pemberdayaan tidak mengubah kondisi kemiskinan yaitu karena banyaknya penduduk  yang membutuhkan bantuan tetapi tidak tersentuh, sebab penentuan kelompok sasaran program pengentasan kemiskinan sangat dipengaruh   oleh kepentingan aparat pelaksana, sehingga yang paling membutuhkan bantuan sering terpinggirkan. Disisi lain perlu dilakukan rumusan tentang kriteria kemiskinan yang beraras lokal.
Disebutkan bahwa dari data yang tersedia pada umumnya hanya menjelaskan indikasi program-program yang telah dan akan dilaksanakan tidak dapat mengungkapkan efektifitas penggunaan dalam mengatasi kemiskinan di daerah atau dalam suatu kelompok masyarakat tertentu serta berapa banyak penduduk miskin yang telah diangkat derajat hidupnya melalui program-program pemberdayaan..
Hal ini tentunya menjadi ironis tentunya sebab dicermati bahwa hampir semua SKPD di Indonesia yang  memiliki program pemberdayaan masyarakat serta ada badan/kantor/pemberdayaan masyarakat di seluruh kabupaten/kota. Selain itu dalam struktur pemerintah desa/kelurahan, juga dibentuk lembaga pemberdayaan masyarakat desa/kelurahan. Di sisi lain dalam kalangan dunia usaha, baik BUMN/Swasta juga ada kewajiban melakukan pemberdayaan masyarakat melalui program tanggungjawab sosial dan lingkungan dalam bentuk program kemitraan dan Bina Lingkungan (PK-BL) di BUMN, maupun CSR (Corporate Social responsibility) dikalangan swasta. Tetapi bahwa kenyataannya  menunjukan praktik pelaksanaan pemberdayaan masyarakat seringkali jauh dari konsepnya.  Kita tentunya berharap bahwa UU no 6 tahun 2014 tentang desa menjadi sebuah kerangka logis dalam membangun gerakan pemberdayaan masyarakat lebih rasional, efektif dan efisien.
Margot Breton,(1994) menyebut bahwa  gagasan pemberdyaan masyarakat berangkat dari realitas objektif yang merujuk pada kondisi struktural yang timpang dari alokasi kekuasaan dan pembagian akses sumberdaya masyarakat.Hal ini tentunya juga diakui sebab persoalan struktural dan pembagian akses berangkat dari sebuah otoritas  kewenangan institusi publik dimana pemerintah merupakan institusi penyelenggara negara. Hasil penelitian penulis terhadap pelaksanaan pemberdayaan masyarakat miskin di sejumlah desa di NTT misalnya baik dari progran PPK, NTADP, P2DTK, ADD, BLT, PNPM dan Anggur Merah ditemukan bahwa kegagalan program tersebut juga berasal dari masyarakat. Dimana mentalitas dan struktur budaya dan tradisi yang kuat telah turut menorehkan kegagalan dalam konteks pemberdayaan masyarakat.
Bertolak dari pandangan tersebut, sebenarnya sikap saling menyalahi adalah bukan solusinya. Persoalan yang lebih penting adalah bagaimana merajut kembali benang kusut pembangunan melalui pendekatan yang sinergis dan kolaboratif anatara elemen masyarakat. Persoalan inilah yang kemudian memunculkan perlunya revitalisasi konsep pembangunan dalam pemberdayaan masyarakat. Hal yang paling penting dalam merevitaliassi konsep pembangunan di ranah praktis implementasinya ialah menterjemahkan konsep pemberdayaan ke ranah praktis. Sekolah pemberdayaan adalah pilihannya. Konsep pemberdayaan menjadi sebuah konsep perubahan namun perubahan yang terjadi nampaknya hanya menjadi sebuah selebrasi karena desakan agenda global yang seakan memaksa sehingga semua merasa harus segera melakukan. Kita menerima konsep pembangunan berbasis pemberdayaan yang ada lalu mengimplementasikan secara praksis tanpa terlebih dahulu memahami dan mendalaminya, kemudian kita menjadi inkositensi gerakan yang mengatasnamakan pemberdayaan.
Ada banyak kesulitan dan tantangan yang dihadapi karena pemahaman akan konsep dan implementasinya bersifat parsial. Kondisi ini tentunya membutuhkan sebuah proses pembelajaran yang terlembaga dan terstruktur yakni Sekolah Pemberdayaan. Urgensi lain dari sekolah pemberdayaan adalah penciptaan ruang bagi proses revitalisasi pembangunan ke arah proses dan tidak semata pada tujuan akhir. Meletakan pemberdayaan sebagai sebuah proses merupakan sebuah upaya pembelajaran menciptakan kesadaran masyarakat untuk dapat berpikir sendiri, merasakan sendiri dan bertindak sendiri. Dengan demikian terobosan sekolah pemberdayaan dapat menjadi prototype sekolah  masyarakat mandiri untuk mencapai kemandirian dan kesejahtraan serta keseimbangan hidup.
Adapun hal penting dari sekolah pemberdayaan adalah, Pertama, dapat menjadi alternatif menumbuhkan kesadaran masyarakat dari aspek kognitif, afeksi dan pola laku masyarakat dan institusi dalam melakukan pembangunan. Dengan demikian akan melahirkan masyarakat yang tahu, merasa memiliki dan bertindak sebagaimana tujuan pemberdayaan. Kedua, membangun dan mengembangkan kaderisasi pembangunan dengan model yang rasional, sistemik, terukur dan bermartabat serta berdaya saing. Ketiga, sebagai wahana pembelajaran dan wadah sharing lintas sektor terhadap permasalahan pembangunan untuk dikaji secara objektif dalam kondisi kekiniannya. Keempat, Sekolah pemberdayaan dapat menjadi wahana membangun diskurus perihal konsep pembangunan (paradigma lama) dan konsep pemberdayaan (paradigma baru) yang berorientasi pada masyarakat dan institusi serta dapat membangun diskursus anatara kebijakan dan kebutuhan masyarakat.
Perubahan Kognitif, Afeksi dan Pola laku
Hal penting dari sekolah pemberdayaan dikaitkan dengan adanya kesadaran baru yakni perubahan mind set atau pola pikir masyarakat dan penyelenggara institusi dari aspek kognitif, afeksi dan pola laku, dari pola pikir lama ke pola pikir yang baru. Esensinya adalah menjadikan masyarakat tahu, memahahami dan mengenal konsep, serta kondisi kekiniannya baik itu politik, budaya maupun lingkungan lainnya termasuk mengenal dan memahami potensi dirinya. Dari aspek afeksi, esensinya ialah mendorong kesadaran baru masyarakat untuk merasa memiliki, menghargai, menghormati, merasa penting semisal penting berpartisipasi terhadap apa yang akan dilakukan dan yang telah dilakukan dalam program pembangunan berbasis pemberdayaan. Dari aspek pola laku ialah menumbuhkan kesadaran bertindak sebagaimana apa yang diketahuinya atau dipahaminya, dirasakannya sehingga gerakan pemberdayaan melalui program pembangunan tersebut pada akhirnya dapat menciptakan kemandirian dan kesejahtraan. Disinilah akan muncul inisiatif dan kreatifitas masyarakat dalam membangun dan mengembangkan potensi dirinya dan lingkungannya.
Banyak persoalan yang muncul dari program pembangunan berbasis pemberdayaan diantaranya dibangun dalam mekanisme birokratis yang sayarat dengan penilaian administratif, bersifat instruktif serta pelaksanaannya lebih cenderung pada petunjuk teknis dan mekanisme teknis yang difasilitasi oleh fasilitator lapangan. Kreatifitas seorang fasilitator lapangan sangat dibutuhkan dan inilah yang masih menjadi polemik kebanyakan orang. Berbagai persoalan ini semestinya harus segera disikapi sehingga pencapaian visi kolektif pembangunan bangsa yakni kemandirian dan kesejahtraan dapat tercapai.Pada akhirnya sekolah pemberdayaan masyarakat menjadi alternatif membangun kesadaran masyarakat dan institusi dalam menciptakan kemandirian dan kesejahtraan serta keseimbangan hidup. Disinilah letak pentingnya sekolah pemberdayaan dalam merevitalisasi pembangunan beraras kearifan lokal.
Menuju Implementasi UU Desa
UU No 6 tahun 2014 tentang desa memiliki spiritualitas pemberdayaan masyarakat. Sejumlah paradigma yang terkandung didalamnya antara lain rekognitif, subsidiaritas. Kehadirnanya tidak sekedar sebagai sebuah jawaban legal atas kebutuhan masyarakat khususnya masyarakat desa, melainkan sebuah bentuk merevitalisasi konsep pembangunan dengan meletakan otonomi desa dan mengembalikan identitas desa sebagai sebuah komunitas masyarakat yang bercita-cita mandiri dan sejahtera.
Kehadiran UU desa tersebut merupakan sebuah kesadaran baru negara yang berpihak kepada komunitas desa yang tidak sekedar dilihat dari adanya alokasi anggaran sebesar Rp.1 miliar setiap desa pertahun, atau juga bukan karena adanya sistem penggajian bagi aparat desa, penambahan masa kerja aparatur desa, melainkan lebih dari itu UU desa menjadi seperangkat instrumen legal negara yang mendorong gerakan pemberdayaan masyarakat desa untuk mandiri dan sejahtera yang lebih partisipatif, kreatif, inovatif dan akomodatif serta berkelanjutan.. Apapun amanatnya, pemberdayaan masyarakat menjadi sentral point yang cukup menantang bagi implementasi pemberdayaan di aras lokal desa.
Ditengah kehadirnanya tersebut, kita ditantang antara peluang dan ancaman ketika masih berada dalam kondisi dilematis antara konsep pembangunan dan konsep pemberdayaan masyarakat. Saat ini sebelum kita jauh melangkah dan tidak pada akhirnya mengembalikan sebuah posisi praktek pembangunan berbasis pemberdayaan sebagaimana fenomena yang digambarkan pada uraian terdahulu, maka sekolah pemberdayaan sekali lagi menjadi alternatif yang mesti dipikirkan, paling tidak dapat mengurai benang kusut pembangunan masyarakat selama ini. Merevitalisasi berarti proses untuk mengembalikan atau menghidupkan kembali kondisi masyarakat yang pernah ada atau melakukan perubahan dari dinamika kehudupan masyarakat sebagaimana prinsip pemberdayaan masyarakat dalam rangka mendorong kemandirian masyarakat menuju kesejateraan hidup.
Menata kembali apa yang pernah ada dan tidak dimaksudkan untuk menghilangkan semuanya itu. Sebab Masyarakat desa di masa lalu adalah masyarakat yang memiliki komunalitas yang tinggi. Mereka saling bekerja sama tanpa harus diperintah, mereka hidup dari inisiatif dan kreativitas diri dan lingkungannya, mereka saling berbagi dan bersolider. Paradigma lain dari UU desa selain rekognisi dan subsidiaritas adalah, kebersamaan, Gotong royong, keberagaman, kesetaraan, solidaritas, Pemberdayaan dan keberlanjutan serta kemandirian. Sekolah pemberdayaan menjadi sangat relevan dalam membangun semangat UU desa tersebut.
Tulisan ini mau mengajak pembaca untuk merefleksikan dinamika pembangunan berbasis pemberdayaan yang dilakukan selama ini dan mencoba untuk membangun sebuah energi baru dalam merevitalisasi pembangunan melalui sekolah pemberdayaan. Sekolah pemberdayaan adalah sebuah upaya pembelajaran kapan dan dimanapun, ia tidak semestinya dibatasi oleh dinding-dinding serta struktur dan mekanisme yang birokratis tetapi pembelajaran bisa tercipta pada ruang-ruang kebersamaan, ia bisa tercipta melalui forum warga, forum antar staekholders ataupun lintas sektor. Akhirnya sekolah pemberdayaan menjadi penting ditengah konstestasi politik pembangunan bangsa serta terpaan globalisasi mengatasnamakan kemajuan dan modernitas tetapi mengendus semangat lokalitas dan kearifannya. UU Desa adalah bingkai dari pemberdayaan masyarakat, ia menegaskan akan pentingnya kemandirian dan kesejatraan masyarakat maka sekolah pemberdayaan menjadi sebuah alternatif dalam proses merevitalisasi pembangunan baik pada nasional dipusat dan daerah serta desa.
Relevansi sekolah pemberdayaan dalam konteks implementasi UU Desa no 6 tahun 2015 adalah terakumulasinya konsep pembangunan berbasis pemberdayaan dalam implementasinya serta upaya membangun kesadaran masyarakat secara kognitif, afektif dan pola laku untuk sebuah kontiunitas pembangunan dalam rangka mewujudkan kemandirian dan kesejahtraan. Disisi lain membangun sebuah sinergisitas yang kolaboratif dalam mengakomodir konsep pembangunan lama dengan konsep pembangunan yang baru yakni pemberdayaan pada ranah implementatif untuk mewujudkan inisiatif kreartif masyarakat. Membuka ruang pengkajian yang lebih mendalam serta akses dalam mengeksplorasi potensi lokal  yang lebih mengakar untuk merumuskan kembali kebijakan pembangunan di aras lokal demi kepentingan publik. Perubahan mind set, afeksi dan pola laku serta dukungan modal, atau material lain dalam mewujudkan pembangunan akan melahirkan sebuah proses merevitalisasi pembangunan di aras lokal.